Danau Sentarum: Dari National/Paper Park Menuju People Park

PENGANTAR

Dari 28 Oktober – 10 November 2009, saya terlibat membantu teman-teman CIFOR dan RIak Bumi melakukan PRA di beberapa komunitas di Danau Sentarum. Kegiatan ini merupakan bagian dari program penelitian tentang orang utan di Danau Sentarum yang dikerjakan kolaboratif antara CIFOR-Riak Bumi-Balai TNDS. Ada dua kegiatan utama dalam penelitian ini, pertama survey orang hutan dengan menggunakan metode transek sarang dan kedua, penelitian tentang persepsi masyarakat di sekitar Danau Sentarum terhadap keberadaan orangutan.

Mengawali kegiatan ini, sebelumnya, pada awal oktober lalu, telah dilakukan pelatihan tentang metode kualitatif dan partisipatif untuk survey persepsi masyarakat tentang orangutan serta metode transek untuk menentukan populasi orang utan berdasarkan kondisi dan keberadaan sarang. Kedua kegiatan utama tersebut selanjutnya akan menjadi bahan penting dalam merancang program membangun kesadaran (awareness program) bagi masyarakat di dalam maupun di sekitar Danau Sentarum tentang upaya perlindungan orangutan dan peranpentingnya dalam konservasi.

Sebelum turun ke lapangan, kami merancang terlebih dahulu proses kajian kampung dengan menggunakan metode PRA. Karena ingin mendapatkan persepsi terdalam masyarakat tentang keberadaan orangutan, kami menggunakan beberapa teknik PRA, diantaranya: studi sejarah kampung, sketsa potensi kampung, stakeholder analysis dan cerita rakyat. Sejarah kampung bertujuan untuk menggali sejarah lisan tentang kejadian, peristiwa yang pernah berlangsung di kampung, sejarah kampung juga mengkaitkan dengan kecenderungan keberadaan sumberdaya di kampung, dalam kurun waktu tertentu. Sketsa potensi bertujuan untuk mendapatkan gambaran peta potensi sumberdaya dan pengelolaannya. Sedangkan stakeholder analisis untuk mengkaji pihak-pihak (individu ataupun lembaga) yang mempunyai kepentingan terhadap kampung dan arti peran mereka bagi masyarakat kampung. Selain itu, untuk mempertajam analisis, dilakukan wawancara mendalam kepada beberapa pihak kunci terkait tema-tema utama yang muncul selama melakukan kajian kampung.

Mengingat kegiatan ini adalah hal yang baru bagi fasilitator muda dari Riak Bumi, maka kami memutuskan memilih 2 kampung yang berbeda karakteristik masyarakatnya. Tujuannya, selain untuk menguji keandalan metode, juga memberikan pengalaman dalam memfasilitasi masyarakat yang berbeda kepada kedua fasilitator. Rencananya kami akan melakukan survey di 10 kampung dari 43 kampung yang ada di dalam dan sekitar kawasan Danau Sentarum. Kesepuluh kampung ditentukan berdasarkan lokasi survey yang pernah dilakukan pada tahun 1997. Jadi penelitian ini, selain untuk melihat kondisi terkini dari populasi orangutan, juga untuk membandingkan dengan hasil yang didapat pada survey terdahulu.

DI KAMPUNG PENGERAK: Keramahan dan harmonisasi dengan alam

Kami mengawali kunjungan ke kampung Pengerak/Kenasau. Pertimbangannya Riak Bumi sudah punya kontak dan sedang ada kegiatan pendampingan, khususnya untuk kelompok kerajinan tikar bemban yang sebagian besar dilakukan oleh kaum perempuan. Sehingga akan memudahkan kami untuk membangun rapport dan menyiapkan kajian desa.

Ternyata perjalanan dari Field Center bukit Tekenang ke kampung Pengerak, yang mestinya ditempuh dalam 2 jam dengan speedboat berkekuatan 115pk, mesti tersendat-sendat, karena salah satu mesin speedboat kami mengalami kerusakan. Setelah berkali-kali berhenti dan sempat bongkar mesin di salah satu kampung, sekitar jam 3 sore kami tiba di kampung Pengerak.

Suasana kampung yang hening, tiba-tiba menjadi bergerak menerima kedatangan kami. Beberapa anggota masyarakat membantu memindahkan perlengkapan kami ke rumah panjang. Ya, kami di sambut di rumah panjang yang terdiri dari 5 pintu, dimana kepala kampung tinggal. Sementara lainnya menonton kedatangan kami. Anjing-anjing peliharaan hilir mudik, seolah mengawasi kami. Belakangan baru kami ketahui, kampung ini belum pernah kedatangan tamu sebanyak ini (16 orang). Sambutan kepada kami makin lengkap, karena ketika senja luruh dan magrib lewat, purnama pun muncul dengan benderang. Malam itu, kami diterima oleh segenap warga kampung yang memadati selasar rumah panjang. Setalah perkenalan satu persatu anggota team, disampaikan maksud dan tujuan kedatangan serta rencana kerja selama 3 hari kedepan. Warga kampung menerima dengan antusias, malam itu kami bertukar cerita, terutama teman-teman staff TNDS yang berasal dari Papua Barat. Dan ketika malam makin jauh, suara lolongan anjing dan kokok ayam, menghiasi nyenyak tidur kami… (kalo nyenyak kok tau2nya anjing melolong dan ayam berkokok? Merinding bo….)

Kajian kampung kami lakukan selama dua hari dan bertahap. Hari pertama diawali dengan sejarah kampung. Melihat komposisi peserta yang cukup banyak (lebih dari 20 orang) dan berbeda generasi, kami lalu membaginya dalam dua kelompok: kelompok kaum tua dan kaum muda. Pembagian ini kami sengaja, untuk melihat gap informasi antara kaum muda dan tua, serta pemahaman mereka tentang sejarah kampungnya. Hasilnya memang menakjubkan, kaum tua sangat kaya dengan informasi masa lalu, sedangkan kaum muda detail dalam informasi masa kini. Hasil keduanya pun lalu disepakati saling melengkapi.

Sore hingga malam hari, kami lanjutkan dengan sketsa potensi desa. Bagian ini pun ramai diikuti oleh anggota masyarakat. Ada diskusi seru tentang lokasi-lokasi tembawai, ladang, kebun bemban, kebun karet, hingga keberadaan satwa-satwa liar. Mereka juga menunjukkan kawasan bekas illegal logging yang marak pada tahun 2000-2005, “berhenti karena gak boleh sama SBY pas jadi presiden,” begitu katanya. Juga beberapa lokasi tambang emas. Saking antusiasnya diskusi tidak selesai hingga malam hari, dan dilanjutkan keesokan paginya.

 

Hari kedua, pagi diawali dengan melanjutkan kajian sketsa desa yang melengkapi lokasi-lokasi satwa-satwa liar. Sesudah itu siang harinya diteruskan dengan analisis pemangku kepentingan kampung. Analisis ini menggunakan cara yang sederhana. Awalnya peserta diminta menyebutkan pihak-pihak siapa saja, baik lembaga maupun individu, yang memiliki kepentingan dengan kampung. Setelah itu, mereka diberi nilai kedekatannya secara social dengan kampung. Lalu dinilai kembali tingkat kepentingannya bagi kampung. Kajian ini juga ramai didiskusikan. Dari pemetaan terlihat, bahwa tingkat kepentingan yang tinggi belum tentu dekat secara social. Hal ini terlihat dengan posisi dari Pemkab, Kecamatan dan Desa, serta Balai TNDS. Masyarakat member nilai kepentingan mereka bintang 3, yang artinya sangat penting. Warga kampung menyadari peran signifikan dari institusi-institusi, namun sayangnya kehadiran mereka sangat minim ke kampung. Staf Desa, belum tentu dalam 1 bulan datang ke kampung, apalagi kecamatan dan kabupaten, “paling pas mau pemilu saja.” Bahkan bantuan guru kampung pun tak pernah jelas kabarnya, hingga akhirnya warga kampung berinisiatif menggaji guru kampung. Pun keberadaan Balai TNDS, meski diakui perannya oleh warga, namun pihak Balai sangat jarang datang ke kampung, “baru kali inilah mereka datang ke sini.” Tak mengherankan bila ke-4 institusi ini diletakkan jauh dari pusat kampung. Pihak-pihak yang dekat diantaranya, pihak Gereja, pembeli ikan asin, Riak Bumi, dan pembeli ikan toman.

Selain rumah panjang, di kampung ini terdapat 7 rumah mandiri, 1 gereja, 1 ruang sekolah, serta 1 lapangan voli dan dihuni 23 KK (73 jiwa). Selain itu terdapat 3 keluarga yang tinggal di atas lanting. Lanting adalah rumah apung yang dibangun di atas sungai. Seperti pada umumnya pemukiman di danau, rumah-rumah di Pengerak adalah rumah panggung yang berdiri tegak di sepanjang bantaran sungai. Antar rumah dihubungkan oleh jalan kampung dari kayu yang dibangun secara swadaya. Di beberapa bagian jalan sudah miring dan tidak diperbaiki. Antara jalan dengan rumah, terdapat teras yang fungsinya selain untuk menjemur pakaian, juga ikan yang sudah digarami, maupun kayu bakar. Dari jalan kampung, di setiap depan rumah terdapat tangga-tangga yang menjulur ke bibir sungai.  Di pinggir sungai, selain perahu, terdapat keramba dan papan untuk mandi dan mencuci baju.

Rumah setinggi sekitar 7 meter itu adalah wujud adaptasi terhadap ekologi danau yang pasang surut. Normalnya, danau terendam air antara 8-10 bulan setiap tahunnya. Namun untuk tahun ini, kemarau relative lebih panjang. Sudah lebih 6 bulan hujan tak turun. Permukaan sungai Belitung pun tampak surut. Saking surutnya, ketika kami melewati sungai ini, tak jarang kapal kami tersangkut kayu-kayu tua yang terendam di dasar sungai. Menurut Akiang, Kepala Kampung Pengerak, ini adalah kali ketiga kemarau panjang selama hidupnya, setelah tahun 1960an, 1997, dan saat ini.

Sebagian  besar penghuni Kampung Pengerak adalah suku Dayak Iban. Menurut cerita ini adalah tempat ke-15 sejak mereka berpindah. Pak Akiang sendiri hanya mengalami 4 kali perpindahan sejak dari Bukit Kenasau pada tahun 1960, lalu pindah ke Pengerak Atas pada 1970-an, lalu pindah lagi ke Pengerak Lama pada tahun 1982, dan pada 4 April 2000, pindah lagi ke Pengerak Baru saat ini. Karena berasal dari Bukit Kenasau, kampung ini dikenal juga sebagai kampung Kenasau.

 

Sebab kepindahan kampung biasanya dikarenakan rumah/tanah angat, yaitu kondisi pemukiman yang tidak lagi nyaman untuk tinggal, karena ada wabah penyakit, seperti pada tahun 1982 dimana di kampung Pengerak Atas terjangkit penyakit Gerumut (campak) yang menyebabkan 6 orang meninggal, atau di tahun 2000 yang menyebabkan kematian 10 orang; ataupun lahan kebun dan ladang yang tidak lagi memberikan hasil, seperti kepindahan dari Kenasau ke Pengerak Atas.

Bekas pemukiman ini disebut oleh mereka sebagai Tembawai. Selain pemukiman, tembawai juga berisi bekas ladang dan kebun. Tak mengherankan jika di lokasi tembawai ini banyak ditemukan buah-buahan seperti rambutan, durian, maupun pohon karet. Karenanya aturan adat melarang tembawai ditebang atau pun dibakar, dan hanya boleh diambil atau dipetik hasil buahnya ataupun diburu hewannya. Meski tidak ada larangan untuk kembali ke menempati tembawai, namun selama ini, mereka tidak pernah menempati kembali tembawai itu.

Selain tembawai, kampung Pengerak juga memiliki utan lindung. Tak ada yang tahu sejak kapan wilayah itu ditetapkan sebagai utan lindung. Namun sejak Pak Akiang lahir, aturan itu sudah ada. Menurutnya, aturan itu merupakan kesepakatan antara Dayak Iban dengan Melayu. Aturan ini membolehkan memanfaatkan kayu hutan asalkan untuk membangun rumah sendiri. Kayu tidak boleh diperjualbelikan. BIla itu terjadi ada sanksi adat yang diberlakukan. Menurut pengakuannya, hingga saat ini belum pernah ada kasus orang yang menjual belikan kayu dari utan lindung tersebut. Cerita ini dibenarkan oleh Sekdes kampung Vega yang pernah diizinkan mengambil kayu untuk membangun rumahnya. Namun, ia pernah juga ditolak mengambil kayu, ketika kayu akan dipergunakannya untuk proyek membangun jalan kampung.

Selain utan lindung dan tembawai, mereka juga mengenal istilah “pulau,” yaitu kawasan hutan yang memiliki fungsi tertentu, diantaranya

  1. rarung/pendam: yaitu kawasan perkuburan yang dilindungi hutannya untuk tidak diambil, karena dilindungi secara adat.
  2. Pulau udouk: tempat menguburkan udouk (anjing) dan kucing.
  3. Pulau Api: kawasan untuk meletakkan api sebagai simbol penerangan orang mati, karena biasanya pulau pendam/rarung terletak jauh dari pemukiman. Jadi mereka memilih wilayah khusus untuk menerangi jalan si mati dengan mengirimkan api selama tiga hari pertama, karena mereka percaya antu sebayan (penguasa alam orang mati) baru memberi api setelah hari ketiga
  4. Pulau Tembune’ : kawasan yang dipake masy untuk menanam ari-ari bayi baru lahir

Semua pulau ini harus dijauhkan dari pembakaran, bila tidak mau ada yang mengalami “pederak,” yaitu kesambet mahluk halus.

Karenanya baik utan lindung, tembawai, maupun pulau relative terjaga kelestariannya. Wilayah ini menjadi habitat bagi satwa liar, seperti beruang, kijang, rusa, pelanduk, maupun orang utan. Terkait dengan orang utan, ada cerita rakyat yang menarik disampaikan oleh seorang tetua kampung. Diceritakan bahwa ketika ada sepasang suami istri, ketika itu istrinya sedang hamil, dan mereka hanya berdua tinggal di tepi hutan. Mereka adalah pasangan muda sehingga belum mengetahui caranya persalinan. Hingga suatu hari sang istri minta dicarikan buah-buahan yang ada di hutan. Ketika sang suami sedang pergi ke hutan, ia melihat seekor orangutan yang sedang dalam proses persalinan. Lelaki itu memperhatikan dengan seksama proses persalinan itu. Setela bayi orangutan lahir, sang induk pun memakan buah. Buah itu dikenal sebagai buah jahe. Sejak saat itulah perempuan yang habis melahirkan diminumkan jahe.

Tidak diketahui apakah cerita ini benar atau tidak dan sejak kapan diceritakan. Namun, kenyataannya masyarakat Pengerak tidak pernah membunuh orang utan, karena mereka merasa berhutang pengetahuan kepada orangutan. Mereka menyadari bahwa seperti manusia, orangutan hanya melahirkan 1 ekor bayi, dan belum tentu setiap tahun melahirkan. Hal inilah yang menyebabkan populasinya terbatas. Menurut mereka, orangutan juga makhluk yang soliter dan tidak suka mendekati manusia. Meskipun diakui bahwa kadang-kadang orangutan menjadi hama, khususnya di tembawai mereka yang menghabiskan persediaan buah-buahan kampung. Namun selama ini orangutan tidak pernah menyerang ke kampung mereka.  Ini berbeda dengan monyet atau bekantan, yang terkadang muncul hingga ke dekat kampung.

Kecuali orangutan, beberapa hewan diburu untuk dikonsumsi ataupun diperjualbelikan, seperti pelanduk, kijang, rusa, babi, maupun labi-labi atau kura-kura tawar. Salah seorang anggota masyarakat kampung bercerita Ia pernah membawa ratusan kilo labi-labi yang dijualnya di Malaysia[1]. Selain membawa langsung ke Malaysia, di Jongkong (ibukota kecamatan di mana Pengerak berada) juga terdapat para bos labi-labi. 1 kg labi-labi dihargakan Rp.20-40 ribu. Bahkan empedu beruang pun diperjualbelikan dengan harga Rp.200 ribu per empedu. Namun saat ini perdagangan labi-labi dan beruang relatif sulit karena kini kedua hewan tersebut sudah dilarang untuk diperjualbelikan.

Hewan lainnya adalah berbagai jenis ikan air tawar. Setidaknya 9 jenis ikan yang kini banyak dipelihara dan ternakkan, yaitu toman, belida, tengalan, tapah, kalay, rinjau, jelawat dan kelara. Ikan-ikan ini mengisi kotak-kotak keramba. Ikan Toman adalah jenis yang paling banyak dipelihara, dan dihargakan Rp.20-40 rb perkg. Saya kagum dengan pengetahuan mereka tentang jenis-jenis ikan, selain ke-9 ikan itu, mereka mampu menyebutkan 54 jenis lainnya yang terdapat di sungai dan danau sekitar kampung mereka.

Meski karet sudah dikenal lama, namun seiring dengan harga karet yang fluktuatif, baru pada tahun 2000 digalakkan kembali penanaman karet. Hal ini karena pada saat itu harga karet sedang naik, bahkan sempat mencapai Rp. 12.000/kg. Selain itu, keberadaan kebun karet menjadi penanda kepemilikan warga terhadap lahan. Maklum, selain lahan-lahan yang sudah disepakati antar kampung, lahan-lahan yang belum disepakati menjadi wilayah terbuka untuk dimiliki siapa saja. Apalagi ada aturan ada yang mendasarkan pada prinsip “Pala Umai.” Maksudnya saat membuka hutan menjadi ladang untuk pertama kali, adalah hak bagi si pembuka untuk tanah di belakang ladangnya tersebut. Lahan itu tidak bisa diperjual belikan, tapi dapat dipinjamkan kepada pihak lain.

Penghasilan lain yang kini mulai menjanjikan adalah tikar anyaman dari bahan baku kulit kayu bemban. Ini adalah ketrampilan khas perempuan yang telah diajarkan secara turun temurun. Beragam motif telah dihasilkan, seperti bunga bulan, gajah, naga, dan motif-motif lainnya. Pengerjaannya cukup rumit dan menyita waktu. Bayangkan 1 tikar berukuran 1.2m x 2m dianyam selama 2 minggu. Ini belum termasuk proses memotong dan mewarnai. Karenanya satu tikar polos dihargai Rp.150.000 – Rp. 300.000, sedangkan yang berwarna Rp. 200.000 – Rp. 500.000,-. Untuk menjaga mutu dan jumlah produksi, dengan difasilitasi Riak Bumi, ibu-ibu Pengerak kemudian mendirikan kelompok kerajinan anyaman bemban sejak tahun 2006. Hasil anyaman, selain dijual ke kota kecamatan di Jongkong, untuk memenuhi pesanan, ataupun dijual melalui koperasi Riak Bumi di Pontianak. Tak mengherankan bila kaum perempuan, tua maupun kanak-kanak, tak meluangkan waktunya untuk menganyam tikar.

Usai menghimpun data kami pun mohon pamit dan meminta maaf bila dalam pelaksanaan kegiatan ada hal-hal yang kurang berkenan. Dalam sessi sharing, terungkap betapa mereka pun sangat senang dengan kegiatan ini. “ada berbagi cerita sejarah bagi kami dari yang muda-muda ini,” begitu salah satu suara kaum muda. Bagi kaum tua pun merasa senang, karena apa yang mereka sampaikan ternyata punya nilai penting bagi pihak lain. Bahkan kami sampaikan bahwa apa yang dilakukan terhadap tembawai dan utan lindung punya kontribusi besar bagi konservasi.

 

DI KAMPUNG VEGA: Perebutan sumberdaya dan politik lokal

Dari kampung Pengerak pun kami beranjak ke kampung Vega dengan diantar oleh Pak Kadus. Ada perasaan haru meninggalkan kampung yang begitu ramah dan penuh harmoni ini. Seiring dengan laju perahu, secepat itu pula saya lepas keterikatan dengan kampung Iban ini… perlahan tapi pasti, menelusuri sungai Belitung, menuju Danau Sekawi yang luas (yang membuat kami laksana buih di tengah gelombang) dan menusuk ke sungai Bebayi… sejam kemudian sampailah kami di Kampung Vega.

Kampung Vega adalah perkampungan suku Melayu dengan penduduk lebih dari 150 KK. Hal paling mencolok perkampungan Melayu dari perkampungan Iban adalah, tiadanya rumah panjang. Seperti di perkapungan Vega, rumah-rumah panggung berdiri menjulang hingga 10, berbaris rapi di sepanjang bantaran sungai Bebayi, dengan pintu menghadap ke sungai. Antar rumah dihubungkan oleh jalan kampung yang tersusun rapi dari kayu yang merupakan bantuan PNPM tahun 2007.

Setiap rumah terdapat teras di depannya. Seolah menjadi jembatan antara rumah dengan jalan kampung. DI teras-teras inilah, selain untuk menjemur pakaian, ikan maupun kayu bakar, juga aktivitas social dilakukan: perempuan bergerombol saling mencari kutu, anak-anak yang bermain karambol, pedagang obat keliling menjajakan dagangannya, hingga obrolan kaum lelaki soal harga bonggolan kayu yang kini sedang ramai dikerjakan oleh warga dengan harga Rp.1000/kg.

Selain rumah dan lanting, kampung ini juga terdapat 1 masjid besar, 1 lapangan sepakbola, sekolah SD 3 ruang (saat kami mengintip di dalamnya, 1 ruangan digunakan untuk 2 kelas yang hanya dipisahkan papan), dan satu bangunan generator diesel yang mengaliri listrik kampung. Generator ini adalah hasil bantuan PNPM 2008. Dinyalakan dari pukul 18.00 hingga pukul 23.00, dan membutuhkan 23 liter solar setiap harinya. Juga terdapat 1 posyandu kampung yang saat itu penanggungjawabnya sedang berada di kota kecamatan. Selain itu, di dekat lokasi pemukiman, di lembah Bukit Vega, terdapat 2 unit tower milik provider telpon seluler: simpati dan indosat. Berbeda dengan Kampung Pengerak yang berada di pelosok sungai, Vega terletak di nadi perlintasan warga danau Sentarum pada umumnya. Berbagai pedagang keliling menjajakan jualannya, bahkan penjual kompor gas pun bersedia datang.

Kami menginap di rumah Sekdes yang juga salah satu kerabat fasilitator Riak Bumi yang menjadi tim kami. Saat itu Pak Kepala Desa, yang sudah beberapa kali kami bertemu, sudah 1 bulan tak ada di desa karena sedang mencairkan dana bantuan untuk Kampung. Ketiadaan Pak Kades mengundang pertanyaan dari beberapa warga yang sempat kami temui saat berkeliling kampung membiasakan kehadiran kami bagi warga. Saya takjub juga dengan keterusterangan warga soal pemimpin kampung mereka kepada orang baru seperti saya. Obrolan bahkan berlanjut ke soal kemiskinan yang mereka tengah hadapi dan kurang pedulinya pemerintah atas keberadaan mereka. Salah satunya adalah dibatalkannya rencana bantuan pembangunan 200 rumah di kampung itu. Alasan Pemkab Kapuas Hulu, karena kampung Vega berada di kawanan Taman Nasional dan ada larangan melakukan pembangunan di kawasan itu. Begitu juga ketika ada rencana untuk membuka kebun karet di kawasan-kawasan yang menurut merak tak bertuan. Mereka bertanya, apakah Taman Nasional tidak peduli dengan rakyat? Hmmm pertanyaan yang sulit.

Mereka pun makin tajam bertanya, mengapa kampung kami tidak pernah diikutkan dalam program-program, seperti photo voice yang pernah dilakukan di beberapa kampung lain, juga saat musyawarah tahunan warga danau, mereka juga tidak diikutkan. Wah kami pun makin terpojok dan kami sampaikan bahwa kegiatan-kegiatan itu diluar pengetahuan kami, karena berbeda lembaga. Dan setiap lembaga punya kebijakan, program dan pendanaan yang terbatas, jadi tidak perlu iri bila belum dilibatkan dalam program-program itu (sambil dalam hati ngedumel, kalo baru ketemu dah ditodong pertanyaan kayak gini, lembaga mana yang mau bekerjasama di sini? Heheheh). Lalu kemudian kami jelaskan maksud kedatangan kami dan mengundang untuk hadir pada pertemuan malam di rumah Sekdes.

Malamnya, silaturrahmi pun dilakukan di rumah Sekdes. Tetua Adat, kepala dusun, kepala kelompok tani, kelompok pemuda, dan tokoh agama pun hadir. Seperti sudah kami duga, tiada perwakilan dari kelompok perempuan. Dari beberapa anggota masyarakat perempuan yang kami tanyai soal keberadaan PKK, majlis taklim ataupun kelompok kerajinan, ataupun kelompok lainnya, rata-rata menjawab “sudah ada tapi gak jalan.” Setelah berkenalan satu sama lain, kami pun menyampaikan maksud kedatangan dan rencana kegiatan selama 3 hari ke depan. Kami pun menanyakan kelompok-kelompok apa saja yang ada di desa dan menanyakan kesediaan waktu untuk kajian desa berikutnya.

Rupanya hal itu kurang menarik perhatian peserta. Kembali kami dipertanyakan oleh orang yang sama dan ini memancing pertanyaan dari peserta lainnya: Soal bantuan yang bisa diberikan, bagaimana upaya menanggulangi kemiskinan, pembukaan lahan karet, hingga peran dari Balai. Agak kewalahan juga kami menghadapinya.

Setelah bersilat lidah cukup lama, akhirnya kami akhiri pembicaraan. Kami tegaskan mengenai maksud kedatangan kami dan rencana kajian desa yang akan dilakukan. Kemudian kami meminta kesediaan peserta untuk mendiskusikan sejarah desa. Kampung Vega, awalnya adalah pecahan dari kampung Petait yang kala itu berada di tepi sungai Kapuas. Warga Petait, kala itu sekitar 50-60 KK, pindah dan terpecah menjadi 3 kelompok: ke ke Mawan, Nibung dan Vega pada tahun 1950an. DI Vega maktu itu terdapat 7-8 KK. Pada tahun 1979, dengan adanya UU 5/1979 tth Desa, maka ketiga kampung itu kemudian disatukan menjadi kampung Vega. Dan baru pada tahun 2007, Vega berstatus sebagai desa. Vega sendiri sesungguhnya nama perempuan asal suku Dayak Undup yang memberikan lahannya untuk ditempati oleh penduduk baru. Nama Vega adalah penghormatan warga terhadap kemuliaan perempuan tersebut.

Warga Vega menggantungkan hidupnya dari beternak ikan Toman dalam keramba yang dipasang berderet-deret di pinggir sungai Bebayi. 1 kotak keramba ukuran 2x3m berisi sekitar 1000-2000ekor. Hampir semua rumah memiliki 1 kotak keramba yang dipasang dekat tangga-tangga yang menghubungkan rumah dengan bibir sungai. BIsa dikatakan aktivitas harian warga Vega, terutama kaum lelaki, adalah memberi makan ikan Toman. Maklum, ikan ini termasuk jenis yang rakus dengan makanan bervariasi. Saat masih sebesar jari kelingking tangan orang dewasa mereka makan telur ikan. Setelah sebesar jari manis, mereka mulai makan gilingan daging ikan. 1 kotak diberi makan 3 kali dengan rata-data 5-10 kg ikan sekali pemberian makan. Tak mengherankan bila banyak pihak beranggapan keberadaan ikan Toman, bisa menghabiskan ikan jenis lainnya.

Apalagi mereka juga mengenal cara menangkap ikan dengan jermal. Jermal adalah jaring pukat yang dipasang di muka sungai. Karena jenis pukat, maka ikan yang terjeratpun bukan hanya ikan besar, tetapi juga anak-anak ikan terambil. Ikan-ikan yang bernilai (seperti ikan hias ulanguli, ikan bilis) dijual terpisah. Sedangkan yang tak bernilai menjadi santapan ikan Toman. Mengingat lahan sungai dan danau yang terbatas, sedangkan jumlah nelayan yang banyak, jermal diterapkan secara bergilir dengan model arisan yang diikuti oleh sekelompok nelayan. Satu giliran berlangsung selama 1 minggu, sesudahnya akan dikocok kembali untuk pelaku baru… Mereka mengakui bahwa sesungguhnya penerapan jermal tidaklah ramah terhadap lingkungan. Bahkan dulu pernah ada kesepakatan untuk menghilangkan jermal dari dalam danau. Namun karena kesepakatan itu tidak dipatuhi oleh kampung lain, mereka pun memulai kembali usaha jermal.

Selain di sector perikanan, mereka juga membuka kebun karet. Karet sudah dikenal sejak tahun 1970an. Namun penanaman karet tidaklah semasif seperti saat ini. Beberapa peserta diskusi beranggapan bahwa kebun karet akan menjadi alternative pencaharian ketika jermal benar-benar dilarang. Namun menanam karet bukanlah tanpa kendala. Karet muda menjadi santapan empuk bagi bekantan, monyet, rusa dan babi, bahkan orang utan. Selain itu, karet tidak bisa ditanam di dekat kampung, karena pasti akan digenangi oleh air danau. Jadi mereka membuka kebun karet di bukit-bukit, yang sebelumnya menjadi hutan.

Selain itu, madu juga menjadi pemasukan tambahan. Hampir setiap warga memiliki tikung, yaitu teknologi tradisional untuk memanggil dan menjadi tempat lebah bergantung. Terdapat lebih dari 1000 tikung. Sayangnya tikung dan madu belum dikelola dengan baik dan dan masih dilakukan secara individual. Sempat terjadi diskusi yang hangat ketika kami bertanya tentang arti pentingnya organiasi periau (pengrajin madu). Selama ini mereka menjual secara individual, madu yang mereka hasilkan. Bila jumlahnya banyak, mereka bawa ke ibukota kecamatan, namun bila jumlahnya sedikit mereka jual ke pembeli yang datang ke kampung. Rata-rata mereka menjual sekitar Rp.20.000 – Rp.30.000/kg. Jani, fasilitator tim yang juga pernah terlibat dalam Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS), menyampaikan bahwa APDS sanggup membeli Rp.35.000/kg. Selain itu APDS memberikan pelatihan bagaimana mengolah madu yang baik. Sekali lagi, informasi ini justru menimbulkan perdebatan hangat bahkan saling menyalahkan antar peserta. Mereka akhirnya menyalahkan ketua periau kampung, yang saat itu tak hadir. Namun saat kami menawarkan tindak lanjut untuk tergabung dengan asosiasi ini, tampak keraguan diantara mereka.

Saat mengidentifikasi peran dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap kampung. Mirip seperti di Pengerak, semakin penting peran yang dimainkan oleh stakeholder, belum tentu memiliki kedekatan social terhadap kampung. Hal ini diperlihatkan dengan penempatan yang dilakukan terhadap Pemprov, Pemkab, dan Kecamatan, serta Balai TNDS. Mereka bahkan mempertanyakan tentang Kecamatan yang menurut mereka antara ada dan tiada, serta peran dari Balai TNDS. “Staff Balai hanya datang untuk urusan pribadi dan saat memantau pembangunan tower provider telpon seluler”. Posisi terluar justru diisi oleh penyuluh pertanian dan perikanan, yang menurut warga sangat jarang datang ke desa. Sekali datang hanya memberi janji bantuan. Seperti ada bantuan pupuk, tapi tidak ada bibitnya…

PENUTUP

Dari dua penggambaran kampung di Danau Sentarum memperlihatkan karakteristik masyarakat yang berbeda dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Kehadiran mereka yang sudah lebih dulu ada sebelum taman nasional itu ditetapkan memberi warna tersendiri bagi pengelolan Danau Sentarum secara keseluruhan. Berkaca dari Masyarakat Kampung Pengerak cenderung mengambil dari apa yang disediakan oleh alam dan menjaganya, seperti terlihat dari pranata tembawai dan utan lindung. Sedangkan masyarakat kampung Vega cenderung mengeksploitasi alam, seperti pada pengelolaan jermal yang sesungguhnya tidak ramah kelestarian. Pengerak relative lebih beragam dalam memanfaatkan hasil alam, mulai dari buah, satwa-satwa, kayu, ikan-ikan di sungai, hingga anyaman tikar. Sementara Melayu cenderung terfokus pada hasil sungai, kebun karet dan rotan, madu, serta kayu. Fokus pada hasil sungai ini Pengerak cenderung memenuhi kebutuhan kampungnya secara mandiri, tanpa banyak meminta kepada pihak lain. Sedangkan Vega, selain memenuhi secara mandiri, selalu mencari peluang bantuan dari pihak lain (khususnya pemda), tak jarang mereka membangun aliansi politik local untuk mendapatkannya (dalam salah satu cerita disebutkan bahwa mereka berhasil menggalang suara untuk memenangkan 1 kandidat DPRD, meskipun kandidat itu bukan berasal dari danau sendiri). Letak yang menempatkan Vega di urat nadi perlintasan warga Danau Sentarum, membuat mereka tak bisa lepas dari alur informasi dan politik local. Hal ini membedakan dengan Pengerak yang berada di pelosok sungai, jauh dari hiruk pikuk politik local.

Uniknya, perbedaan karakteristik ini mampu mereka wujudkan dalam pola pengelolaan yang kolaboratif. Sejak lama mereka mengenal daerah-daerah yang pengelolaannya disepakati bersama, seperti utan lindung ataupun wilayah kerja. Tak jarang konflik menyertai mereka, namun sejauh ini selalu bisa diselesaikan secara adat.

Dengan pola demikian, apakah masih diperlukan Taman Nasional yang kehadirannya justru menambah kompleksitas pengelolaan di Danau? Mengapa tidak dijadikan saja Taman Rakyat, dimana rakyat mengelola secara penuh wilayahnya mereka…. Just a tought

 


[1] Maklum, berkunjung atau bekerja di Malaysia relative lebih mudah dilakukan oleh masyarakat Iban, karena kesamaan suku dan bahasa dengan masyarakat local di Serawak. Mereka biasanya bekerja sebagai buruh perkebunan karet atau sawit ataupun sebagai buruh bangunan. Tak jarang mereka ke Malaysia tanpa dilengkapi dokumen kependudukan.