Sepotong senja untuk suamiku

Sebingkai foto kau kirimkan untuk lelaki yang entah berada dimana, melalui media digital.
“Sepotong senja untuk suamiku,” begitu pesanmu mengiringi foto itu, sambil mengutip judul cerpen Seno Gumira Adjidarma. Cerpenis yang kau puja dan kenang saat membincang senja. “Dia bapak senja nusantara,” begitu katamu di suatu senja.
Senja yang menguning, di hamparan pasir putih dan deburan ombak, kita hiasi dengan tawa dan mimpi2 masa depan pasangan muda. Tak ada lelah Lelaki itu mengayuh, meski laju sepeda lambat dan berat tertahan gembur pasir. “Ayo lelakiku, kamu pasti bisa, kita jemput senja masa depan kita,” pekikmu penuh bahagia.
Tapi itu 20 tahun lalu. Sebulan setelah kita memenuhi bulan penuh cinta, lelakiku pamit menuju ibukota, “kami akan memperjuangkan demokrasi,” katamu gagah sekali. Tak lama pecah huruhara, beberapa media mengabar penculikan oleh sebuah timbunga.
Sejak itu tak ada kabar berita Lelakiku.
Sejak itu rindu dan kehilangan silih berganti mengisi hati perempuan itu. “Ayahmu, lelaki sejatiku, pahlawan yang tak tertulis dalam sejarah. Ia bagaikan pasir putih di pantai, menatap senja perlahan, lamat, menjemput malam, dan dihempas ombak peradaban begitu saja,” begitu cerita perempuan itu berulang kali, setiapku menanyakan siapa ayahku.
Dan di setiap senja, perempuan itu berdiri tegak, membagi airmatanya kepada tampias ombak.
Depok-Bogor, 11 Nov 2017
Keterangan foto tidak tersedia.
<img class="j1lvzwm4" src="data:;base64, ” width=”18″ height=”18″ />
<img class="j1lvzwm4" src="data:;base64, ” width=”18″ height=”18″ />
<img class="j1lvzwm4" src="data:;base64, ” width=”18″ height=”18″ />
Yayan Indriatmoko, Elnino Sutrisno dan 66 lainnya
10 Komentar
Suka

Secangkir Kopi dan Sebatang Rokok di Hujan Sore.

Hujan sore menghempas senja. Lelaki paruhbaya itu keluar menuju beranda kantornya, sambil membawa secangkir kopi.
Ia nikmati aroma Bajawa yang meruap dari cangkir porselen, cinderamata seorang teman usai melanglang buana, sebelum meletakkannya di meja. Ia tutup cangkir itu dengan tatakannya, agar tak segera tercampur tampias hujan.
Perlahan, Ia ambil sebatang kretek, Ia bakar ujungnya sambil dihisap dalam kepungan kedua tangannya menghindarkan dari terpaan hujan angin. Tarikannya membuat kretek terbakar dan menghadirkan bunyi khas.
Bunyi yang mengingatkan akan kakeknya yang terbunuh dalam episode sejarah kelam bangsanya.
Episode yang menjerumuskan keluarganya menjadi ampas kopi peradaban bertahun-tahun kemudian.
Dan di senja yang basah itu, Ia menikmati kreteknya sambil sesekali mencecap Bajawa, dengan lidah yang kelu. Sekelu sejarah keluarganya yang Ia simpan sendiri dan membiarkannya menguap dari ingatan anak cucunya, laksana aroma Bajawa yang lenyap dihempas hujan sore itu.
Ragunan-Depok, 06 November 2017

RINDU (2)

Dalam demam, aku mengigau tentangmu, yang jauh berpeluh.

Dalam gigil, aku gemetar untukmu yang asing tak terjamah.

Dalam tangis, aku meratap menyebutmu tanpa kata tanpa makna

Rindu ini sudah begitu sakit, menghujam dan remuk, sedang kau hanya bayang dalam angan.

#RenunganToilet #SajakRindu

RINDU

Kamu adalah rintik pertama sesudah kemarau, yang segera menguap dicerap senja tanpa berjumpa tanah yang merona.

Kamu adalah kata pertama dari bibir bayi sembilan bulan, celoteh tanpa makna

Kamu adalah daun teakhir dari puncak terujung, yang rebahlila digoyang angin timur tanpa berharap jadi humus.

Kamu adalah jarak antar kata, ruang kosong, yang menanggung sepi dan sendiri.

#RenunganToilet #SajakRindu

MAWAR REMAJA

Setangkai mawar tumbuh meremaja. Kuntumnya menatap langit, merayap meninggi menuju angkasa. Meski mekar tak sempurna, merah meronanya penuh pesona. Memberi penanda kepada semesta.

Mawar remaja, tumbuh perlahan di batas halaman dua tetangga. Menyapa rumput yang lama tak dijamah senja. Membawa segarnya hari dan cerita tentang embun pagi tanpa rencana. Membuat duri dan kemarau panjang terlupa.

Mawar remaja tumbuh menggoda diantara dua jendela. Dua hati yang lama tak disapa cinta. Saling takjub dan menyana. Menafsir ulang tentang setia.

#RenunganToilet #puisipagi