DESA GENGGELANG: Konsolidasi warga untuk membangun Kemitraan Kehutanan

Desa Genggelang berbatasan dengan Desa Rempek dan kawasan hutannya berada dalam satu bentang alam dari Rempek hingga ke Mongal yang menjadi bagian dari blok hutan Koko’ Sidutan Register Kelompok Hutan 1 Gunung Rinjani dengan luasan 7,248.88 hektar. Pada awal tahun 1980-an, banyak warga masyarakat Genggelang yang dilibatkan oleh Pemprop NTB dalam proyek penanaman kopi di bawah tegakan di kawasan hutan. Petani kopi yang terlibat diwajibkan untuk menyerahkan 50% hasil panen kopinya sebagai sumber pemasukan kas daerah. Namun, karena sebagian besar lahan penanaman berbatasan dengan Desa Rempek, justru proyek tersebut memicu ketegangan antara warga kedua desa.

Namun sengketa sesungguhnya baru muncul ketika, ketika Menteri Kehutanan pada 1990 memberikan ijin kepada PT. Angkawijaya Raya Timber (PT. ART) untuk melakukan pengusahaan hutan di kawasan hutan Rempek-Monggal. Sengketa muncul, menurut Haeril Anwar, tokoh Pemuda dan juga Kepala Desa Genggelang, karena “Kala itu warga merasa terpinggirkan dan hanya penonton dari kegiatan pembalakan oleh perusahaan”. Belakangan aktivitas HPH kian mendapatkan kecaman dan penolakan masyarakat, karena areal pembalakan banyak dijumpai mata air yang menjadi sumber air kebutuhan masyarakat. Selain itu, aktivitas produksinya terbukti merusak jalan dan jembatan desa akibat hilir mudik mengangkut kayu bulat (log). Apalagi proses perizinannya tidak pernah mengajak masyarakat untuk bermusyawarah dan kemudian membatasi akses masyarakat untuk mengelola hutan. Menurut Sirajudin, Kepala Resort Lombok Utara KPHL Rinjani Barat, kondisi tersebut memicu kecemburuan masyarakat terhadap perusahaan pengelola HPH dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah yang dianggap tidak peduli terhadap keberadaan masyarakat di sekitar hutan. “Puncaknya pada saat reformasi 1998-1999, warga masyarakat kemudian menghentikan aktivitas perusahaan, membakar camp, serta mengusirnya,” lanjut Sira, demikian ia biasa dipanggil.

Menurut Almaududi, seorang aktivis lembaga swadaya lokal Genggelang, berhentinya PT. ART justru mendorong masyarakat untuk beramai-ramai masuk ke kawasan hutan, melakukan aksi pengrusakan fasilitas kehutanan, pembalakan liar, perambahan, penyerobotan serta penguasaan kawasan hutan. “kawasan hutan menjadi open access, siapa saja, dari mana saja masuk menggarap hutan. Yang pandai chainsaw dia tebang pohon, yang lain membuka kebun kopi. Dulu hampir 90% warga itu pembalak, entah sebagai penggesek (penebang) pohon, pemikul maupun pemodalnya,” lanjut Hendro, mandor dan pengaman hutan dari Desa Genggelang. Mereka juga melakukan aksi bisu terhadap petugas kehutanan, bahkan melakukan perlawanan dan pengusiran serta menolak beraneka program kehutanan yang ditawarkan Pemerintah. Hal ini membuat berbagai pendekatan yang dilakukan oleh Pemerintah kepada para tokoh masyarakat selalu gagal.

Kopi memang menjadi tanaman unggulan di desa ini. Masyarakat Genggelang sudah mengenal kopi sejak sebelum jaman kemerdekaan. Kala itu banyak warga cina pendatang yang meminjam lahan kepada pemerintah kolonial masa itu untuk menanaminya dengan  kopi. Waktu itu, masyarakat tidak berani menanam kopi secara terang-terangan dan hanya mengembangkan kopi yang bijinya diperoleh dari kotoran luwak/musang. Kemudian, setelah kemerdekaan, orang-orang cina pendatang itu pergi, meninggalkan lahan-lahan  kebun kopinya yang kemudian disita negara. Masyarakat kemudian membeli lahan-lahan kebun kopi tersebut. Sejak itulah budidaya menanam kopi muncul di desa Genggelang ini.

Kopi semakin menjadi pilihan utama mengelola lahan, ketika pada awal tahun 1980an ada proyek sabuk penyangga kawasan hutan yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah dengan penanaman kopi di bawah tegakan. Kopi ditanam di sepanjang batas hutan, seluas 100 meter dari batasnya. Dari hasil panen kopi yang diperoleh petani penggarap, 50%nya wajib diserahkan kepada Dinas Kehutanan Propinsi untuk menjadi kas daerah. Pada tahun 2009, diperkenalkan teknik kopi sambung, dimana batang bawah adalah kopi, sedangkan dahan atas disambung dengan jenis unggul. Teknik ini diperkenalkan oleh orang Bali, bernama Made Tumbuh. Awalnya ia mengembangkan kebun kopi sambung di lahan yang berbatasan dengan kawasan hutan. Keberhasilannya telah banyak diikuti oleh petani yang menanam kopi di luar kawasan hutan. Maka pada 2009, mulailah dicoba ditanam di kawasan hutan. Saat ini 1 ha kebun kopi sambung bisa menghasilkan 3-4 ton biji kopi. Dampak dari kopi sambung ini, sekarang sebagian jenis tanaman lain juga disambung, seperti durian lokal dengan durian thailand, kakao lokal dengan kakao unggul. Selain itu, hasil yang diperoleh mampu meningkatkan kesejahteraan petani penggarap. Terbukti sejak 2009, semakin sedikit warga yang mencari kerja ke luar negeri dengan menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI). Selain itu, Desa Genggelang paling banyak menghasilkan haji untuk pulau Lombok.

Sebenarnya pendekatan Dinas Kehutanan kepada masyarakat telah dimulai sejak 1999, ketika HPH berakhir. Melihat kondisi hutan yang dirambah oleh banyak pihak, AlMaududi, tokoh Pemuda saat itu, mengajak beberapa pemuda desa untuk mulai memikirkan kondisi lingkungan desa dengan membentuk Forum Komunikasi Pemuda Genggelang (FKPG) serta mendorong isu penyelamatan mata air. “Kalo mata air rusak, dari mana kita bisa minum dan memenuhi kebutuhan air sehari-hari?” papar Dodi menjelaskan mengapa penyelamatan mata air menjadi tujuan utama kegiatan mereka. Mereka lalu mengusulkan program tersebut kepada Dinas Kehutanan Propinsi yang ditindaklanjuti oleh Pak Madani Mukarom (Staf Dishutprop kala itu) dengan mengadakan proyek rehabilitasi mata air. Awalnya mereka memetakan mata air yang berada kawasan hutan Rempek-Monggal dan teridentifikasi ada 18 mata air. Setelah itu dilakukan penanaman bersama kelompok-kelompok penggarap di sekitar mata air tersebut. Jenis yang ditanam terutama rajomas (Duabanga mollucana), yaitu jenis tanaman kayu lokal yang cepat tumbuh dan mudah didapat. Selain itu, karena tumbuhnya lurus, memberi nilai ekonomi yang cukup tinggi pada kayu tersebut.

Hubungan dengan Pak Dani semakin akrab, saat KPHL Rinjani Barat terbentuk pada tahun 2010 dan beliau diangkat menjadi Kepalanya. Di bawah kepemimpinan Pak Dani, KPH melakukan pendekatan yang berbeda terhadap masyarakat. Sejak awal KPHL telah melibatkan masyarakat setempat dalam proses sosialisasinya yang dilakukan di sepuluh dusun di Desa Genggelang : Penjor, Kerta, Gitak Demung, Gangga, Sambik, Monggal Bawah, Monggal Atas, Paok Rempek. Lias dan Kujur. Tak jarang sosialisasi harus dilakukan berkali-kali di setiap dusun, agar masyarakat bisa memahami sesungguhnya maksud dari kemitraan tersebut. Sosialisasi dilakukan mushola atau masjid, balai dusun, maupun rumah penduduk.

Menurut Kepala Desa Genggelang, awalnya mereka merasa jenuh dalam melakukan sosialiasi KPH, karena tidak ada tanggapan positif dari masyarakat. Malah kala itu masyarakat sempat mengajaknya untuk bertemu dengan kepala KPH. Dalam pertemuan tersebut, masyarakat meminta agar para mandor dari Desa Genggelang dipecat dan menggangap semua program kehutanan tak ada yang bagus. Maklum saja, di awal masa KPH itu, masyarakat merasa tidak ada sosialisasi, tetapi beberapa warga masyarakat diangkat oleh KPH sebagai mandor, fasilitator dan pengaman hutan. Apalagi kemudian, mereka melaporkan warga yang membuka lahan hutan atau melakukan penebangan liar, bahkan hingga ada yang ditangkap oleh aparat kehutanan. “Orang seperti Dodi dan Hendro ini dulu dianggap galak dan tidak manusiawi, melapor ke aparat dan kemudian ada penangkapan warga,” papar Sirajuddin, Kepala Resort Lombok Utara. Tak jarang Sira, harus beradu mulut dengan warga menjelaskan situasi tersebut, bahwa apa yang dilakukan warga adalah pelanggaran dan mandor hanyalah menjalankan tugas pengamanan kawasan hutan.

Penolakan secara halus juga digaungkan oleh beberapa dusun yang bersedia membangun kemitraan asalkan mereka berada dalam satu kelompok besar, dalam hamparan hutan. Padahal, hamparan hutan Monggal hingga ke Rempek dan mencakup 3 desa: Genggelang, Rempek dan Bentek. Alasannya, model kemitraan harus diterapkan di semua desa, bukan hanya di Genggelang saja, sehingga tidak ada diskriminasi. Alasan lainnya, pengalaman dari aturan Awik-Awik yang diterapkan di desa Genggelang, tetapi desa lain tidak mempunyai aturan yang sama, padahal mereka menggarap di lahan satu hamparan. Sehingga terjadi perbedaan pengelolaan lahan hutan garapan. Akhirnya aturan Awik-Awik tersebut runtuh, karena masyarakat merasa tidak ada gunanya menerapkan Awik-Awik sementara orang lain dari desa lain mengelola hutan dengan cara yang berbeda.

Melihat gelagat demikian, tim sosialisasi Kemitraan yang digawangi oleh AlMaududi dan Hendro akhirnya hanya menyasar dua dusun untuk sosialisasi awal, yaitu Dusun Gitak Demung dan Kerta. Pertimbangannya kedua dusun ini, warga masyarakatnya lebih mudah untuk didekati, ketimbang dusun lain. Namun Pak Kades Genggelang berpendapat lain, bahwa harus semua dusun dilakukan penyuluhan.

Mereka pun terjun dan “bergerilya” ke dusun-dusun untuk mensosialisasikan kemitraan kehutanan tersebut. Pendekatan dusun dipilih, karena sebelumnya mereka pernah menggunakan pendekatan kelompok berdasarkan hamparan yang ternyata kesulitan untuk mengumpulkan anggotanya yang berasal dari berbagai dusun. Sehingga kegiatan kelompok banyak tidak berjalan. Dengan pendekatan kelompok berdasarkan dusun, lebih mudah mengumpulkan warga dan mengajaknya untuk berkelompok dan menerima program kemitraan. Untuk memperkuat dukungan warga, pendekatan kepada tokoh masyarakat maupun tokoh agama dilakukan. Meskipun setiap dusun terkadang harus dilakukan sosialisasi hingga lebih dari 5 kali pertemuan. “Banyaknya pertemuan menandai tingkat resistensi dari setiap dusun terhadap program kemitraan,” seloroh Dodi yang disambut tawa lainnya.

Dalam sosialisasi disampaikan arti pentingnya kemitraan yang dapat memberikan akses legal bagi masyarakat dalam menggarap lahan hutan. “Dalam mengelola hutan perlu legalitas, dan selama ini kita menggarap lahan hutan tanpa legalitas. Dan untuk itu perlu bermitra, menjalin komunikasi dengan pemerintah, khususnya KPH, bisa mengeliminir konflik,“ jelas Haerul. Kemitraan menjadi sarana mendekatkan antara masyarakat penggarap lahan dengan KPH selaku pemangku kawasan. “Karena selama ini, sama-sama melihat dari jauh, sehingga tidak saling memahami satu sama lain. Kemitraan menjadi jembatan untuk saling memahami satu sama lain,” lanjut Pak Haerul.

Pak Kades juga menekankan pentingnya melihat dalam kerangka agama. “Sebelum ada kemitraan, apa yang kita makan dari hasil hutan ini adalah barang syubhat[1]. Karena kita mengolah lahan tanpa seizin pemiliknya, yaitu KPH” paparnya setengah berdakwah. Kemudian dengan tegas Pak Kades menyatakan, bahwa siapa saja yang menolak untuk diatur melalui program kemitraan, tidak akan dibantu pengurusannya oleh pemerintah desa.

Pendekatan seperti ini rupanya cukup menyentuh hati para penggarap dan menggerakkan mereka untuk bergabung dalam kelompok tani di setiap dusunnya masing-masing. Sosialisasi yang panjang, membuahkan hasil dengan terbentuknya 24 kelompok yang tersebar di 11 Dusun dengan total jumlah anggota sebanyak 724 KK. Adapun sebarannya adalah sebagai berikut:

Nama Dusun Jumlah Kelompok
1.     Penjor 1
2.     Kerta 1
3.     Gitak Demung 3
4.     Gangga 1
5.     San Sambik 2
6.     Monggal Bawah 4
7.     Monggal Atas 2
8.     Paok Rempek 3
9.     Lias 3
10.  Kujur 3
11.  Senara 1
TOTAL 24

Setelah dilakukan sosialisasi di tingkat dusun, kemudian dilakukan musyawarah desa yang difasilitasi oleh KPHL Rinjani Barat yang menghasilkan kesepakatan, sebagai berikut:

  1. Para anggota kelompok tani pengelola hutan siap mengikuti program kemitraan
  2. Anggota kelompok sanggup membayar iuran Rp.100.000/ha/tahun yang diserahkan kepada KPHL Rinjani Barat
  3. Bagi hasil atas tanaman kopi: masyarakat sanggup memberikan 10kg kopi setiap panen dengan perincian: 4 kg untuk Pemdes, 3 kg untuk kelompok, dan 3 kg untuk KPH.
  4. Menyepakati rancangan aturan AwikAawik pengelolaan hutan, sebagai berikut
    • Tidak memiliki dan melakukan sertifikasi atas lahan hutan
    • Tidak menebang pohon
    • Tidak melangke[2]
    • Tidak menanam tanaman semusim, padi, kacang, cabe dll
    • Tidak melakukan pengolahan tanah, seperti membajak
    • Tidak menanam kelapa
    • Membuat pondok lebih dari 3 x 4 m, boleh beratap seng.
    • Tidak menggunakan pestisida
    • Tidak menggembalakan ternak di dalam kawasan
    • Boleh menanam cengkeh 25 batang/ha.

Hasil kesepakatan desa tersebut, kemudian menjadi rancangan awal aturan adat, dikenal dengan istilah Awik-Awik dan dan nantinya akan dibuatkan peraturan desa (Perdes) tentang pelaksanaan kemitraan kehutanan. Namun hal ini masih belum dapat direalisasikan, karena kesibukan pribadi para anggota Tim Sosialisasi. Tetapi juga karena Desa Genggelang baru sekitar 1 tahun mengadakan pemilihan Kepala Desa dan BPD, sehingga beberapa dokumen administrasi desa masih belum terlengkapi. “Apalagi kebanyakan anggota BPD adalah orang baru yang belum memahami proses penyusunan peraturan desa, mulai dari merancang, konsultasi publik hingga penetapannya, “ lanjut Dodi.

Kendati demikian, rancangan peraturan tersebut sudah disampaikan kepada pihak KPHL Rinjani Barat . Rencananya rancangan tersebut akan menjadi dasar penyusunan rancangan naskah kemitraan antara KPHL Rinjani Barat dengan Masyarakat Desa Genggelang.

Kini jalan menuju kemitraan sudah terbentang. Dampak pendampingan juga mulai dirasakan. Rehabilitasi mata air mulai dirasakan manfaatnya. Beberapa mata air yang punah atau hampir punah, kini mengalirkan air kembali. Jika di musim kemarau, sering terjadi rebutan air antar warga dusun, kini sudah lebih berkurang intensitasnya. Warga pun jadi lebih peduli, siapapun yang menebang hutan, segera diadukan dan diproses secara aturan Awik-Awik atau langsung ke penegak hukum. Untuk mengurangi rebutan air, Pemerintah Desa kemudian melakukan pengaturan air melalui PAM Desa. “Menata air berarti menata hutan, karena air menjadi kebutuhan bersama, untuk minum dan juga persawahan” demikian tegas Haerul yang baru setahun menjabat sebagai Kades Genggelang, menjelaskan langkah awal penataan air di desanya. “Yang berat itu merubah mindset masyarakat, gak apa gak ada air, yang penting banyak beras dan kopi. Masyarakat lupa, menebang pohon kayu dan memperbanyak kopi, justru membuat tanah tak mampu menyimpan air, ” lanjut Haerul.

Ke depan, dalam bentuk kemitraan nantinya akan diatur juga model pengelolaan lahan oleh masyarakat. Saat ini mereka sudah mengidentifikasi penggarap-penggarap lahan hutan yang sudah menerapkan model pengelolaan lahan dengan memperhatikan jarak tanam, keanekaragaman jenis tanaman yang mencampur antara kayu-kayuan, buah-buahan maupun tanaman perkebunan. Kayu lokal seperti rajumas, keluru, maupun sengon dicampur dengan durian, mangga maupun kopi akan menjadi masa depan kebun warga. “LSM Samanta membantu kami untuk memperbandingkan nilai ekonomi dan konservasi dari satu jenis tanaman dengan tanaman lain. Misalnya, dengan menanam rajumas yang sudah bisa dipanen dalam 5-7 tahun, mampu memberikan pendapatan cukup besar. Bandingkan dengan cengkeh yang pada umur 7 tahun masih belajar berbuah,” terang Dodi.

Selain itu, bersama LSM Samanta, ke depan mereka akan mendorong pembentukan koperasi kelompok penggarap lahan di tiap dusun. Setelah koperasi dusun mampu berjalan, baru akan membentuk koperasi payung di tingkat desa. Harapannya koperasi akan menjadi unit usaha komunitas di tingkat dusun.

Perencanaan lainnya di bawah payung kemitraan adalah memanfaatkan potensi kawasan hutan dan sumber air yang ada sebagai obyek wisata alam. “Kita pengen ada tempat seperti Kebun Raya Bogor, wisatawan lokal bisa memanfaatkan potensi alamnya, mata air dan bentang alam, dan hasil buah-buhannya, terutama saat musim panen juga bisa dinikmati. Ide ini sudah pernah disampaikan kepada pihak Dinas Pariwisata dan Bappeda kabupaten Lombok Utara, dan tinggal menunggu adanya kesepakatan kemitraan antara kami dengan KPHL Rinjani Barat,” papar Haerul menerangkan perencanaan ke depan pengembangan desa.

Bola kemitraan saat ini ada di tangan KPHL Rinjanji Barat. Menurut Sirajuddin, ke depan mereka akan melakukan verifikasi terhadap para penggarap lahan hutan. Selain verifikasi administrasi dan domisili, juga akan dilakukan pemetaan partisipatif. “Harus selalu diingatkan, bahwa kemitraan P.39/2013 itu untuk memberikan akses bagi warga masyarakat yang sudah menggarap di lahan hutan, bukan untuk memobilisasi warga baru untuk menggarap hutan,” tegas Sira. Berdasarkan Permenhut P.39/2013, kemitraan bertujuan mensejahterakan masyarakat dimana pemegang ijin maupun pemangku kawasan (KPH) bermitra dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan dengan mengembangan berbagai komoditas unggulan seperti kopi, kakao, karet dan sebagainya. Selain itu, pemegang ijin juga memfasilitasi terciptanya pasar dari hasil hutan tersebut. “KPH Rinjani Barat sebagai pemangku kawasan siap memfasilitasi baik segi sosialisasi, pemberdayaan maupun penciptaan pasarnya,” ujar Teguh Gatot Yuwono selaku Kepala Seksi Pengolahan dan Pemasaran KPHL Rinjani Barat.

Depok, 18 Agustus 2015

_DSC1257

[1]Syubhat atau subhat adalah istilah dalam ajaran Islam yang menandai suatu keadaan ragu-ragu antara yang dibolehkan agama (halal) dan tidak boleh (haram). Jika menemui kondisi atau barang yang subhat, umat muslim diperintahkan untuk meninggalkannya.

[2] Melangke atau Pelangke, yaitu teknik mematikan kayu dengan cara dikuliti dibagian pangkalnya atau dibor dan diberi herbisida. Kayu dimatikan agar lahannya bisa digunakan untuk tanam kopi atau pisang.

Leave a comment