Desa Rempek: Menebar benih kemitraan, memutus rantai sengketa

KPH sekarang, pendekatannya ke masyarakat menerapkan model pendampingan, mereka datang ke masyarakat, ikut dalam kegiatan masyarakat, jarang mengenakan seragam formal dan lebih sederhana. Sehingga penyampaian programnya lebih mudah diterima dan masuk ke dalam hati,” demikian penjelasan Suryadinata, ketua Kelompok Serba Usaha (KSU) Kompak Sejahtera, desa Rempek, ketika ditanyakan apa yang mendorong warga Rempek pada akhirnya mau membangun kemitraan dengan KPHL Rinjani Barat. “KPH sekarang seperti saudara, selalu hadir baik diminta maupun tidak,” lanjut Kasdi Irawan memperkuat penjelasan rekannya. Kasdi dulu dikenal sebagai pihak yang paling menentang program-program kehutanan yang diterapkan oleh pemerintah di desa Rempel, tetapi sekarang justru mendukung program kemitraan.

Bersama Tim 9, sering disebut sebagai Tim WaliSanga, Suryadinata dan Istiadi (dusun Jelitong), Maidianto dan Mahyadi (Rempek Timur), Harianto, Kasdi Irawan, Minarno dan Radium Putra (Busur), serta Rinadim (Rempek),  menjadi penggerak program kemitraan di desa Rempek, kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara. Mereka membandingkan pendekatan kehutanan di masa lampau yang lebih sering menerapkan penegakan hukum dan membuat takut masyarakat dengan aparat. Dan berujung kebencian warga terhadap aparat kehutanan. “Dulu, saking bencinya, kami sering mengintimidasi aparat kehutanan yang sedang bertugas lewat sini. Kadang-kadang sekedar kami pelototi atau menantangnya, tak jarang juga kami sayat jok atau ban sepeda motornya,” seloroh Suryadinata disambut tawa anggota Tim 9 lainnya.

Maklum, Desa Rempek memiliki akar sejarah konflik yang cukup panjang menyangkut lahan kawasan hutan di sekitar desanya. Kawasan hutan yang membentang dari Rempek hingga ke Mongal itu merupakan bagian dari blok hutan Koko’ Sidutan Register Kelompok Hutan 1 Gunung Rinjani dengan luasan 7,248.88 hektar. Kawasan ini pertama kali ditetapkan sebagai hutan pada tahun 1929 oleh pemerintah Hindia Belanda. Selain kawasan hutan tersebut, pada tahun 1957, Pemerintah Daerah Lombok menyerahkan kawasan miliknya seluas 6,250 hektar untuk dikelola oleh Kehutanan dan dikenal dengan Government Ground (Tanah GG)[1]. Tanah GG ini kemudian dijadikan sebagai kawasan penyangga (buffer zone) Kelompok Hutan Gunung Rinjani. Batas antara kawasan hutan dan tanah GG adalah berupa gegumuk, undukan tanah dan batu yang merupakan tata batas kawasan hasil rekonstruksi tahun 1942, dan ditarik sepanjang 3 kilometer. Belakangan, kawasan hutan yang ditetapkan jaman Belanda, dikukuhkan sebagai hutan produksi terbatas (sering disebut kawasan di atas gegumuk)  dan tanah GG menjadi kawasan hutan produksi tetap (sering disebut di bawah gegumuk) yang dikelola sepenuhnya oleh Departemen Kehutanan. Kawasan di bawah gegumuk inilah masyarakat biasa melakukan kegiatan ladang berpindah (mengoma).

Pangkal mulanya konflik ketika Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Barat menggulirkan proyek penanaman kopi di bawah tegakan pada awal tahun 1980an[2]. Sengketa muncul ketika dalam pelaksanaan proyek tersebut, petani yang dilibatkan adalah petani dari Desa Monggal/Genggelang, dan bukan dari Desa Rempek, yang sesungguhnya telah sejak lama berladang di kawasan tersebut. Petani Desa Rempek lalu turut menanami kopi di kawasan tersebut, hingga mencapai luasan + 300 hektar.

Urusan penanaman kopi belum selesai, muncul persoalan baru yang semakin meningkatkan eskalasi konflik, yaitu ketika pemerintah daerah dan BPN menggelar program PRONA (Proyek Operasi Nasional Agraria). Dalam program tersebut, dari 400 ha lahan di desa Rempek, 86 ha berada di dalam kawasan hutan[3], dan kemudian kesemuanya mendapatkan sertifikat, termasuk lahan yang berada di dalam kawasan. Adanya sertifikat tersebut, pada tahun 1989 para penggarap kopi kemudian mengajukan permohonan kepada Gubernur untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Alasannya, mereka telah mengeluarkan biaya untuk menanam kopi di lahan yang mereka yakini sebagai tanah negara bebas (tanah GG). Klaim kawasan sebagai tanah negara bebas ini menimbulkan konflik antara BPN, Kehutanan, dan masyarakat. Perbedaan persepsi atas batas hutan kembali muncul ke permukaan, yang kemudian mendorong perambahan hutan besar-besaran di sekitar Desa Rempek, hingga mencapai luasan 2,018.5 hektar, termasuk di dalam kawasan eks ―Tanah GG seluas + 300 hektar tersebut. Perambahan ini diperkuat dengan adanya surat dari BPN pada 1991 yang menyatakan bahwa kawasan penyangga kopi tersebut berada di luar kawasan hutan, dan merupakan bagian tanah negara bebas (GG).

Menurut Kasdi Irawan, awalnya tanah yang 86 hektar itu disertifikasi melalui PRONA diperuntukkan bagi masyarakat miskin yang tidak mempunyai lahan. Saat pelaksanaan program tersebut, masyarakat diminta keluar dari kawasan hutan dan menghentikan praktek ngoma. Demi sertifikasi, masyarakat pun setuju. Namun kenyataannya, sertifikat tanah dimiliki oleh para pejabat, baik dari tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan dan desa. Kondisi ini membuat masyarakat kecewa dan marah, mereka lalu menduduki tanah hutan di luar yang telah mendapat sertitikat PRONA dan menanaminya dengan kopi. Merasa bahwa kawasan tersebut adalah kawasan hutan, pada 1992, Dinas Kehutanan NTB melakukan tindakan penegakan hukum dengan membasmi tanaman kopi penyangga yang dianggap liar di kawasan seluas + 300 hektar tersebut.

Konflik semakin memanas ketika Menteri Kehutanan pada 1990 memberikan ijin kepada PT. Angkawijaya Raya Timber (PT. ART) untuk melakukan pengusahaan hutan di kawasan tersebut[4]. Hal tersebut mengundang protes masyarakat, hingga puncaknya pada 1999 masyarakat melakukan pembakaran dan perusakan camp dan peralatan operasi perusahaan. Akhirnya, PT. ART menghentikan operasi pada 2000, 10 tahun lebih awal dari masa ijin yang berakhir pada 2010. Menurut Suryadinata, berhentinya PT. ART mendorong masyarakat untuk melakukan perambahan dan pembalakan liar.

Untuk meredakan konflik ini, Kementerian Kehutanan, melalui Kanwil Kehutanan Provinsi NTB, mencoba beraneka program kehutanan. Diantaranya mengembangkan kawasan hutan Rempek-Monggal seluas 500 hektar ditetapkan sebagai areal HKm yang akan dikembangkan secara bertahap dalam 5 tahun pada tahun 1996/97. Namun demikian, proyek ini ditolak oleh masyarakat. Mereka khawatir jika nantinya hutan ditanami kembali, mereka akan terusir dari kawasan tersebut.

Menanggapi situasi tersebut, Pemerintah Daerah dan Departemen Kehutanan pada tahun 1996 mencoba mencari langkah penyelesaian melalui beberapa rapat koordinasi. Salah satu hasilnya adalah adanya rekomendasi untuk mengeluarkan masyarakat dari kawasan seluas 86 hektar yang sudah bersertifikat dan dari 300 hektar kawasan hutan penyangga. Untuk kawasan yang bersertifikat, pemerintah akan mencari lahan pengganti. Namun demikian, keputusan tersebut sampai saat ini tidak pernah terlaksana, karena kembali mendapatkan penolakan keras dari masyarakat.

Masyarakat menolak keras beraneka bentuk upaya penyelesaian konflik pada masa itu disebabkan oleh keyakinan masyarakat bahwa tanah yang mereka kuasai adalah tanah negara bebas (tanah GG). Hal ini tidak terlepas dari pemahaman lokal yang telah berkembang di masyarakat sejak zaman Hindia Belanda tentang batas hutan. Menurut masyarakat Desa Rempek dan sekitarnya, batas hutan yang dikenal di kawasan tersebut ada 2, yaitu pal besi dan gegumuk. Pal besi merupakan batas terluar dari hutan inti atau kawasan hutan yang harus dilindungi. Hutan yang berada di dalam batas ini tidak boleh diganggu oleh siapapun. Hutan merupakan lahan bagi satwa dan kekayaan keanekaragaman hayati yang lain untuk berkembangbiak, serta untuk mengatur tata air dan menjaga keamanan Gunung Rinjani. Sementara itu, gegumuk merupakan batas terluar hutan produksi, yang berjarak 3 kilometer dari pal besi. Di kawasan gegumuk ini, pada zaman Hindia Belanda masyarakat diperbolehkan untuk mengambil kayu untuk keperluan bangungan dan beberapa keperluan lainnya.

Sementara itu, kawasan di luar gegumuk bagi masyarakat merupakan kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan perladangan dan pertanian lainnya. Sejak zaman Hindia Belanda, masyarakat di desa Rempek telah melakukan aktivitas peladangan berpindah di kawasan ini.  “Dulu kami melakukan ngoma (sawah ladang), yang dilakukan secara gawah giliran (sistem gilir balik),[5]” papar Ruspendi, kepala biro sejarah dan budaya Tim 9 yang juga pernah menjadi pengaman hutan kabupaten pada 2008-2009.

Sejak terbentuk pada tahun 2010 KPHL Rinjani Barat mulai melakukan koordinasi dengan tokoh masyarakat, tokoh agama dan Kepala Desa Rempek. Upaya koordinasi tersebut dilakukan secara terus mnerus dengan mengembangkan beberapa pendekatan, seperti melakukan perekrutan petugas lapangan (mandor[6]) yang berasal dari desa setempat, dikembangkan dengan para tokoh kunci untuk mengetahui kondisi masyarakatnya; melakukan pertemuan rutin secara informal, seperti di masjid usai sholat jumat, di pasar dan tempat lainnya; Pada tahun 2012 bersama LSM Samanta melakukan sosialisasi HTR, namun ditolak masyarakat. Alasannya, kayu yang boleh diambil adalah hasil menebang pohon yang ditanamnya, bukan pohon yang tumbuh sendiri. Masyarakat merasa terlalu lama menunggu masa tebang, apalagi sistem bagi hasil yang ditawarkan kurang memberikan keuntungan bagi masyarakat. “Namun penolakan keras atas program HTR ini adalah karena ada anggapan cukup kuat di masyarakat bahwa jika mereka ikut program kehutanan, maka tanah akan dihutankan kembali dan masyarakat tidak bisa mengolahnya,“ papar Suryadinata.

Kendati ada penolakan untuk program HTR, KPHL Rinjani Barat tetap membangun hubungan dengan masyarakat desa Rempek dengan melakukan ujicoba pengkayaan di kawasan  hutan lindung seluas 100 ha pada tahun 2012. KPHL Rinjani Barat mengajak masyarakat untuk terlibat dengan mengembangkan berbagai jenis tanaman MPTS (karet, dukuh, duren, lengkeng, rambutan dan manggis) serta tanaman di bawah tegakan (salak pondoh dan porang). Ujicoba kegiatan kehutanan tersebut ternyata dapat diterima masyarakat Desa Rempek dibuktikan dengan meningkatnya partisipasi masyarakat didalamnya.

Pada tahun 2013, diterbitkan keputusan menteri kehutanan nomor 39/Menhut-II/2013 tentang Kemitraan Kehutanan dan keputusan menteri kehutanan nomor 47/Menhut-II/2013 tentang Pedoman, Kriteria dan Standar Pemanfaatan Hutan di Wilayah Tertentu pada KPHL dan KPHP. KPHL Rinjani Barat aktif melakukan sosialiasasi kedua peraturan tersebut. Rupanya masyarakat menyambut antusias peraturan baru tersebut. “Setelah mempelajari aturan baru tersebut, kami melihat program ini cukup bagus, ada kerjasama, ada proses bagi hasil dan kesepakatan, serta  prosesnya tidak berbelit-belit. Model seperti ini yang ditunggu-tunggu masyarakat. Kami yakin program seperti ini membuat masyarakat diperhatikan, artinya kedaulatan negara RI dirasakan oleh masyarakat,“ papar Suryadinata berapi-api.

Difasilitasi oleh KPHL Rinjani Barat, masyarakat Rempek lalu membentuk tim yang bertugas untuk mensosialisasikan peraturan baru tersebut kepada para petani penggarap lahan. “Uniknya, setiap tim berkumpul selalu berjumlah 9, sejak itulah kami menamakan diri Tim 9, atau kadang-kadang disebut WaliSanga,” lanjut Suryadinata. Tim 9 bersama KPH lalu secara intensif melakukan sosialisasi di masjid-masjid, terutama sesudah sholat Jumat, maupun di pasar maupun warung kopi.

Berbarengan dengan sosialiasi oleh Tim 9, ada kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitan dan Pengembagan (Puslitbang) Kementerian Kehutanan Jakarta untuk pemetaan konflik di desa Rempek, pada tahun 2013. Tim Peneliti Puslitbang bersama Tim 9, kemudian menyebarkan kuesioner ke berbagai pihak di tingkat dusun, baik yang mendukung maupun yang menolak program kehutanan. Dari kuesioner tersebut terungkap bahwa masyarakat sebagian besar bisa bersepakat untuk menggarap lahan di atas gegumuk secara kemitraan, sedangkan yang di bawah gegumuk akan dibicarakan belakangan. Mengetahui hasil ini, Tim 9 dengan difasilitasi oleh Tim Peneliti Litbang Kehutanan, lalu mengundang para tokoh dusun dan desa pada 18 Oktober 2013. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa masyarakat bersedia untuk bermitra dengan KPHL Rinjani Barat untuk lahan di atas gegumuk, tetapi untuk lahan di bawah gegumuk masyarakat tidak setuju dan masih tetap pada pendirian mereka untuk mendapatkan sertifikat tanah seperti yang sudah diberikan kepada 100ha pada tahun 1984.

Tim 9 pun menerima kesepakatan tersebut dan meneruskannya kepada KPHL Rinjani Barat untuk merancang bentuk kemitraannya. Tim 9 menerima dengan pertimbangan untuk saat ini yang terpenting ada yang dapat disepakati dan untuk membangun saling percaya dengan masyarakat Rempek. Kasdi menjelaskan, “Kalau kami ngotot di kawasan ini, akan banyak pertentangan dari masyarakat. Sehingga kami berfikir, daripada program tidak jalan, lebih baik kami bersepakat dengan masyarakat, yaitu di atas gegumuk 1869ha. Kalau nanti lahan tersebut benar-benar bisa dikelola, dan masyaakat bisa melihat hasilnya, masyarakat pasti akan lupa dengan konflik dan mau meninggalkan lahan di produksi terbatas.

Tim 9 kemudian melakukan pendataan warga yang mengelola lahan di atas gegumuk. Hasilnya, terdapat 1032 KK yang mengelola luasan 1869 ha dan berasal tidak hanya dari desa Rempek, tetapi desa-desa di sekitarnya, seperti Tenggeng, Sambit Bangkol. Saat awal sosialisasi kemitraan di tahun 2013, hanya terdapat 18 KK yang bersedia untuk bermitra dengan KPHL Rinjani Barat dan mempersatukan mereka dalam kelompok tani penggarap lahan. Pada tahun 2014, jumlah yang berminat bertambah menjadi 23 KK dan pada tahun 2015 telah 288 KK. Dari 288 KK tersebut, telah terpetakan 50 ha lahan dan teridentifikasi jenis tanamannya.

Kerja cepat dan kompak Tim 9 bukannya tanpa resiko. “Kami sering diteror,” ungkap pak Rinadin, ketua divisi pemerintahan Tim 9, yang juga Kepala Desa Rempek. “Mulai dari ancaman fisik, rumah yang mau diratakan dengan tanah atau dibakar. Tetapi yang paling meresahkan adalah penyebaran isu kepada warga yang telah bermitra: bahwa lahan yang telah ditanami karet atau kayu, setelah jadi hutan, masyarakat nanti akan diusir kembali. Masyarakat dengan pengetahuan terbatas, menjadi goyah ketika mendapat teror seperti itu,” lanjut pak Rinadin. Teror ditebarkan oleh para pelaku pembalakan liar yang merasa terganggu dengan kehadiran Tim 9, maupun oleh petani penggarap lahan yang belum mau bermitra.

Teror dan ancaman tak membuat gentar Tim 9, bahkan untuk memperkuat unit usaha kelompok tani penggarap lahan, mereka kemudian mendorong dibentuknya koperasi serba usaha (KSU) yang diberi nama KOMPAK SEJAHTERA. Koperasi ini diketuai oleh salah satu anggota dari Tim 9 yaitu Suryadinata. Melalui koperasi inilah kemudian pada pada tanggal 25 Agustus 2014 secara resmi dilakukan penandatanganan kesepakatan kemitraan kehutanan antara KPHL Rinjani Barat dengan koperasi Kompak Sejahtera. Penandatanganan naskah kesepakatan ini disaksikan oleh Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan saat itu yang sedang melakukan kunjungan kerja di Desa Sesaot kec. Narmada Kabupaten Lombok Barat. Penandatanganan ini merupakan bentuk kemitraan  antara masyarakat dengan KPH yang pertama kali di Indonesia setelah dikeluarkannya Permenhut No.39/2013. Dengan kerjasama kemitraan ini maka, anggota koperasi yang telah terdaftar sebagai penggarap lahan hutan menjadi mitra KPHL Rinjani Barat. Masyarakat diperbolehkan mengambil hasil hutan bukan kayu (HHBK) maupun hasil hutan kayu (HHK) sesuai dengan peruntukan pemanfaatannya dengan sistem bagi hasil dengan KPH. Adapun kesepakatan besaran pembagian hasilnya adalah sebagai berikut:

Jenis Hasil Hutan Masyarakat (%) KPH

(%)

Total
Anggota Pemdes Koperasi
Hasil hutan bukan kayu (HHBK) 75 5 10 10 100
Hasil hutan kayu (HHK) 60 5 10 25 100

Nantinya koperasi inilah yang berperan untuk memungut bagi hasil dari anggota kelompoknya sebelum diberikan kepada KPH dan Pemdes. Sistem bagi hasil ini akan berlaku ketika surat izin menggarap (SIM) dikeluarkan oleh KPHL Rinjani Barat bagi anggota kelompok tani hutan. Direncanakan SIM tersebut akan diberikan pada bulan Juli 2015, sebelum musim panen kopi.

 

Teguh Gatot Yuwono, selaku Kepala Seksi Pengolahan dan Pemasaran KPHL Rinjani Barat menuturkan, sesuai kesepakatan, masyarakat juga harus bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian hutan. Oleh karena itu, masyarakat akan diarahkan menanam pohon jenis raju mas, sengon, kalinguru serta karet — yang bisa dimanfaatkan getahnya. Masyarakat juga sepakat untuk secara bertahap keluar dari hutan yang mereka rambah. “Nantinya, setiap kepala keluarga yang terlibat dalam kemitraan akan mendapat semacam kartu izin untuk mengelola hutan. Izin tersebut tidak bisa dipindahtangankan atau diperjualbelikan,” kata Teguh yang juga Kepala Resort Santong dan Senaru.

 

Dengan adanya kemitraan, KPHL Rinjani Barat setiap tahunnya melibatkan masyarakat dalam program rebosiasi maupun rehabilitasi hutan. Mulai dari kegiatan pengukuran dan pemetaan, pembuatan bibit, persemaian, penanaman sampai pemeliharaan masyarakat berperan aktif melaksanakannya. Selain itu pendampingan pembinaan juga terus dilakukan KPHL Rinajni Barat bekerjasama dengan LSM Samanta untuk menjamin keberlanjutan program.

 

Selain itu, dengan kemitraan, masyarakat kemudian membentuk Satuan tugas perlindungan dan pengamanan hutan sebagai wujud kepedulian masyarakat terhadap keamanan hutan. KPHL Rinjani Barat pun lebih tegas dalam penegakan hukum dalam tindak pidana kehutanan yang terjadi di kawasan wilayah kerjanya.

 

Melalui strategi kemitraan kehutanan yang diterapkan KPHL Rinjani Barat seperti diuraikan di atas menjadi resolusi konflik tenurial yang telah terjadi bertahun-tahun. Hal ini dibuktikan dengan menurunnya tuntutan masyarakat untuk sertifikat sisa hutan dan bahkan kawasan hutan yang telah disertifikatkan sekarang masuk menjadi peserta program kemitraan kehutanan. Partisipasi masyarakat Desa Rempek dalam kegiatan-kegiatan kehutanan pun terus meningkat mencapai 80%. Sisanya yang masih belum menerima merupakan pengusaha-pengusaha kayu yang menurutnya program kemitraan kehutanan ini akan merugikannya.

Sehingga sampai memasuki tahun 2015 ini dapat dibilang bahwa terjadi penurunan konflik di Desa Rempek sampai termasuk pada tingkatan eskalasi sedang (kuning). KPHL Rinjani Barat berkerjasama dengan LSM Samanta terus melakukan pendampingan terhadap masyarakat agar konflik-konflik tenurial yang terjadi dapat terus direalisasikan.  Menurut Madani Mukarom, Kepala Balai KPHL Rinjani Barat, menegaskan bahwa dengan pola kemitraan, masyarakat bisa memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu jika kemitraan dijalin pada areal hutan produksi. Sementara jika kemitraan dilaksanakan pada areal hutan lindung, masyarakat hanya diperkenankan memanfaatkan hasil hutan non kayu seperti madu, berbagai jenis buah, getah pohon atau jasa lingkungan. “Kemitraan antara masyarakat dan KPH bukan saja menyelesaikan persoalan perambahan, tapi juga menjadi solusi bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Masyarakat bisa memanfaatkan berbagai macam hasil hutan dengan tetap menjunjung prinsip pengelolaan hutan lestari,” lanjut Dani yang juga Ketua Asosiasi KPH se-Indonesia, menutup wawancara kami.

[1] Pada tanggal 12 November 1954 Dewan Pemerintah Daerah Lombok dengan Surat Keputusan Nomor  433/AGR-I/6/497 menyerahkan tanah milik pemerintah Daerah (Tanah GG) kepada Jawatan  Kehutanan yang terletak di Resort Kedistrikan Bajan (Kawasan Monggal-Rempek) yang telah diukur defenitif pada tahun 1957 dengan luas 6.250 Ha. Penyerahan ini dilakukan oleh pemerintah daerah, karena adanya kekhawatiran terhadap sikap masyarakat desa yang cenderung menelantarkan, bahkan menjual sawah dan ladangnya dan lebih memilih berladang di tanah GG‖tersebut.

[2] Dengan kewajiban petani kopi untuk menyerahkan 50% hasil panen kopinya ke kas daerah

[3] Tepatnya di kawasan yang dahulu disebut tanah GG.

[4] PT. Angkawijaya Raya Timber memperoleh ijin melakukan pengusahaan hutan di kawasan Rempek Monggal Sebagai bagian dari 22,000 hektar area konsesi di Pulau Lombok dan 38,500 hektar di Pulau Sumbawa.

[5] Ngoma atau mengoma adalah praktek ladang berpindah sambil menanam padi gogo dan bibit kopi di hutan. Mengoma dilakukan dengan mengawi (pemangkasan pohon besar yang ada di sekitar areal ladang), menjulat (membakar ranting bekas tebangan dan semak belukar), menggonggon (mengumpulkan yang tersisa saat menjulat), menambah (menggemburkan tanah ladang), dan mentajuk (menanam bibit padi, jagung, maupun kacang-kacangan)

[6] Mandor-mandor bertanggung jawab terhadap pemangkuan hutan yang berbatasan dengan desanya. Selain itu, dalam rangka membangun kemitraan, setiap mandor tersebut memiliki tugas utama untuk melakukan pendekatan pada masyarakat minimal 1 orang/hari.

 

Depok, 15 Agustus 2015_DSC1380

Leave a comment