BARU

Masih ingat video seorang petinggi kesehatan di California yang tengah memberikan konferensi pers terkait penyebaran coronavirus dan setelah menyarankan untuk tidak menyentuh wajah, hidung dan mulut, Ia justru menjilat jarinya sesaat sebelum membuka halaman baru saat berada di podium.
Ini adalah contoh klasik bagaimana ketika sebuah informasi baru, bahkan dengan tingkat kegentingan seperti coronavirus tersebut, tidak serta merta menimbulkan tindakan baru. Bagi para pendidik, penemu, penyuluh maupun fasilitator, tentu mahfum, ada proses panjang diadopsinya sebuah informasi baru untuk menjadi tindakan baru. Saya teringat teori yang dikembangkan oleh Everest M. Rogers dalam tentang adopsi inovasi. Karena proses adopsi, tidak hanya soal menerima (sebagai pengetahuan baru), tapi merupakan proses mental dalam diri untuk mengambil keputusan menerima atau menolak informasi baru tersebut.
Setidaknya ada lima tahapan untuk mengadopsi sebuah informasi baru mulai dari tumbuhnya kesadaran (awareness), menaruh minat (interest), evaluasi (evaluation), mencoba (trial), hingga adopsi (adoption). Mari kita refleksikan sejak mewabahnya coronavirus di Wuhan dan kemudian menjalar ke berbagai belahan dunia hingga Indonesia, apa yang telah kita sendiri lakukan? Masih bekutat mengumpulkan informasi? Sudah ikut menyebarkan informasi yang terpercaya? Atau sudah ikut mengevaluasi mana informasi yang signifikan dan ikut mengkritisi kebijakan pemerintah terkait penanganan virus ini? Sudah menerapkan self-lockdown dan menerapkan gaya hidup bersih nan sehat? Atau malah sudah turut membagikan masker dan hand-sanitizer, bahkan membentuk grup komunitas untuk ikut menanggulangi hal tersebut?
Itu baru penilaian untuk diri sendiri. Bagaimana ketika informasi baru tersebut disebarkan kepada publik yang lebih luas? Rogers, lebih jauh membagi 5 tipe kelompok yang akan bereaksi terhadap informasi baru yang membentuk kurva. Tipe pertama adalah para Inovator, yang berciri aktif mencari informasi terkini dan terpercaya untuk kemudian membaginya kepada public yang lebih luas. Mereka cepat berinovasi, berani mengambil risiko, berpendidikan cukup baik, relatif berusia muda, mobilitas sosial cukup tinggi, mempunyai pendapatan di atas rata-rata, sebagai perintis pemula dalam adopsi pengetahuan baru. Jumlah kelompok ini kurang dari 2.5% dari populasi.
Tipe kedua disebut Early Adopter, bercirikan kuat dan gemar memimpin pendapat (opinian leader), berani mengambil risiko, berpendidikan cukup baik, relatif berusia muda, mobilitas sosial cukup tinggi, memiliki pendapatan di atas rata-rata, segera mencoba dan menerapkan dari informasi baru tersebut. Mereka inilah golongan pembaharu dengan populasi sekitar 13.5%.
Tipe ketiga adalah Early Majority, biasanya mempunyai rasa kehati-hatian dalam mengambil keputusan, mobilitas sosial kurang, berpendidikan rata-rata, usia relatif muda, akan mengadopsi setelah melihat bukti dari orang lain. Jumlah kelompok ini 34% dan kebanyakan dari mereka adalah pemimpin komunitas atau bahkan berada sebagai pengambil kebijakan.
Keempat, Late Majority dengan populasi 34%. Kelompok ini cenderung bersikap skeptis terhadap inovasi/informasi baru, usia relatif lebih tua, status sosial relatif rendah, mobilitas sosial rendah, kalau mengadopsi lebih disebabkan karena perasaan malu/segan, bukan karena penilaian yang positif terhadap inovasi.
Dan terakhir, Laggard, seringkali berorientasi lokal dan masa lalu, berfikiran dogmatis, dibutuhkan waktu lama untuk meyakinkan mereka agar mengadopsi inovasi/pengetahuan baru, atau bahkan akan menolak selamanya. Inilah kelompok dengan populasi 16% yang memilih berlibur atau menghadiri ibadah massal di saat seharusnya belajar/bekerja dari rumah.
Mestinya Pemerintah segera bekerjasama dengan para perintis dan pembaharu tersebut untuk menyebarluaskan praktek penanganan coronavirus, bukan malah dengan para buzzeRp. Pemerintah perlu memperkuat kepemimpinan komunitas melalui komunikasi publik yang lebih baik, kaya data dan terukur langkah-langkahnya penanggulangannya. Bukan cengangas-cengenges dan berujar, “takdir.” Serta bersikap keras dengan melakukan lockdown terbatas kepada kelompok 4 dan 5.
Malangnya pengelompokan model kurva ini, bergerak jadi pyramid, dimana para perintis dan pembaharu semakin sedikit dan membesar di kelompok laggard, karena ulah para buzzer, pemerintah yang tak cepat tanggap dan dendam kesumat politik yang tak berkesudahan.
Depok, 19 Maret 2020

Leave a comment