LOCKDOWN

Dalam keriuhan soal perlu tidaknya lockdown dalam upaya mengatasi penyebaran virus Corona COVID 19, di sudut kampong di kaki gunung Kendeng, 140an km dari pusat keriuhan itu, masyarakat Baduy sudah melakukan penutupan area sejak akhir Februari 2020 lalu. Para turis, tamu, maupun siapa pun dilarang memasuki wilayah Baduy, terutama Baduy Dalam. Mereka hanya diterima di kampong Kaduketug, batas akhir dengan dunia luar.
Warga Baduy pun tak boleh keluar kampung. Tapi ini bukan gagah-gagahan gegara sang virus COVID-19. Sebagai komunitas yang tinggal di tanah kancana (bumi yang suci) menganut Sunda Wiwitan (Sunda Cikal-bakal), mereka mengakui sebagai cikal bakal manusia di dunia yang diberi tugas dari Adam Tunggal untuk meneguhkan aturan Wiwitan (Cikal-bakal) dengan bertapa di hutan kesucian (mandala), yakni patuh pada aturan awal menjaga dan meneguhkannya.
Mereka tengah melakukan pikukuh atau kewajiban adat patikrama yang tak boleh dilanggar, “ngukus ngawalu muja ngalaksa,” yaitu menyelenggarakan upacara Kawalu dan pemujaan dengan membuat makanan yang disebut Laksa. Kawalu adalah rasa syukur atas keberhasilan dalam pertanian yang diwujudkan dengan cara berpuasa. Setiap tahunnya, Kawalu dilakukan sebanyak 3 kali, di bulan Kasa untuk kawalu tembey (awal), Karo untuk kawalu tengah, dan Katiga untuk kawalu tutug (akhir). Puasa ini diikuti oleh seluruh warga baik laki-laki, perempuan, anak-anak yang sudah disunat, dan bermakna untuk membersihkan diri dari hawa nafsu yang buruk. Puasa dimulai sejak tengah malam tanggal 16 dan dan keesokan harinya tanggal 17 mereka berganti pakaian dengan pakaian baru dan bersih berduyun-duyun berangkat ke daerah tangtu masing-masing: Cibeo, Cikeusik, atau Cikretawana.
Mereka diterima di rumah girang seurat, para kaum perempuan kemudian membuat masakan yang berasnya dihasilkan dari humaserang ditambah dengan lauknya hasil ngalanjak. Apabila beras dari humaserang kurang maka ditambah dengan beras yang dibawa oleh masing-masing. Masakan yang diutamakan adalah saji yang dimasukkan ke dalam ancak dengan aneka lauk pauk dari ladang. Kira-kira pukul dua malam, Pu’un bersama perangkat adat diiringi oleh warganya pergi ke sungai untuk melakukan mandi, rambut dilangir, badan disucikan, ruhani dibersihkan. Selesai mandi, Pu’un dan perangkatnya naik ke bale adat. Dalam sikap sembah, Pu’un membaca mantera, diikuti oleh seluruh peserta upacara. Selesai membaca mantera, maka puasa diakhiri dengan makan-makan saji yang ada dalam ancak. Khusus untuk kawalu tutug, sebelum dilaksanakan, biasanya mereka melakukan ziarah ke Sangiang yang letaknya di Gunung Sorokokod, kemudian dilanjutkan ziarah ke Mandala. Setelah selesai berziarah barulah ritual ngalaksa dilaksanakan sesuai dengan tanggal yang telah ditetapkan adat dengan urutan: kampong Baduy Tangtu/Dalam, Baduy Panamping/Luar dan Dangka.
Proses ngalaksa dilaksanakan oleh kaum ibu, bahan dasarnya adalah padi yang berasal dari humaserang ditambah dengan padi yang ditumbuk dari warga. Setelah selesai padi ditumbuk, kemudian disimpan di rumah girangseurat selama tiga hari, setelah itu baru diisikan (dibersihkan/dicuci) dan ditumbuk menjadi tepung, lalu dilomay (diseduh dengan air) selama satu malam. Setelah dilomay menjadi adonan kemudian dibungkus dengan daun patat (phyrum pubigerium), lalu direbus hingga masak. Adonan ditumpahkan ke dalam nyiru (niru) dan dibawa ke saung panglaksaan. Para pembuat Laksa haruslah kaum perempuan yang baik hatinya, bersih, dan jujur. Pada saat ngalaksa ini juga dilakukan cacah jiwa dengan cara sederhana, yakni setiap kepala keluarga menyerahkan ikatan tangkai padi sesuai dengan jumlah anggota keluarganya kepada kokolot kampung setempat.
Setelah selesai semua ritual tersebut, masyakat Baduy bersiap untuk melaksanakan Upacara Seba, yaitu kunjungan warga Baduy kepada Pemerintah (Bupati Lebak dan Gubernur Banten, sebagai bapa gede). Tujuannya untuk mengharapkan keselamatan dan rasa syukur kepada Tuhan, bahwa selama setahun masyarakat Baduy mampu mempertahankan kepercayaan dan tradisi leluhur mereka. Dalam kegiatan itu, disampaikan: amanat Puun (hasil dari muja kawalu), memberikan laporan selama satu tahun di daerahnya, harapan warga Baduy, menyerahkan hasil bumi, dan untuk mempererat ikatan tali silaturahmi secara formal kepada Bapak Gede.
Begitulah, menutup diri kawalu menjadi bagian dari tradisi adat untuk bertapa bagi kesejahteraan dan keselamatan pusat dunia dan alam semesta. Tradisi yang membawa masyarakat Baduy menghormati, merawat dan menjadi bagian dari alam. Alam kemudian memberikan aneka ragam lauk pauk yang berujung pada kemandirian pangan. Kemandirian pangan menjadi syarat mutlak kemampuan menutup diri.
So, di tengah hiruk pikuk penyebaran virus Corona Covid-19 dan tuntutan untuk lockdown, adakah jaminan kemandirian pangan di sana?
Depok, 18 Maret 2020

Leave a comment