CINTA

Dari mata turun ke hati, demikian sebuah pepatah lama. Sebermula dari tatapan yang dipengaruhi hormon testosteron (pada pria) dan estrogen (pada perempuan), mengaktifkan hipotalamus, penghubung saraf dengan endokrin, dan amigdala, bagian limbik yang mengelola memori dan reaksi emosional. Tatapan penuh daya, menyalakan sinyal2 cinta di otak, memindai sang pasangan.
Mulailah badai dopamin, norepinefrin, dan serotonin, mengguncang emosi, jantung berdegup keras saat mengenangnya, motivasi untuk terus bersamanya, hingga reaksi fisik tak bisa tidur dan sulit makan saat jauh darinya. Gembira, sedih, bahagia, kecewa hadir bersamaan mengharubiru sang rasa.
Ketika cinta bersambut, oksitosin memperekat ikatan emosi keduanya dan vasopressin mengkoordinasikan penghargaan sesama. Tak jarang, cinta membuat mabuk dan jatuh dalam kubang asmara, melupakan perbedaan antar dua manusia, seperti Ratu Wilhemina, Sang Ratu Belanda, ketika mendamba Raja Siak, Sultan Syarif Kasim II, jajahannya. Atau cinta terlarang antara Rahwana dan Sinta, hingga sang Rahwana meratap, “Tuhan, jika cinta ini terlarang, mengapa Kau bangun kemegahannya dalam hatiku,” (Sujiwotedjo).
Tak jarang cinta pun berbalik menjadi benci, membangkitkan energi ketakberdayaan. Ketika cinta dan benci bergerak berlebihan, sungguh membahayakan bagi sang diri. Cinta tak lagi menjadi cahaya, tapi api yang membakar rumah nalar. Benci menjadikannya gelap gulita, lubang hitam yang menyerap logika. Ia tak hanya mematikan nalar, bahkan memantik konflik. #RenunganToilet #Cinta
Depok, 19 Februari 2017
Gambar mungkin berisi: 4 orang, orang tersenyum

Leave a comment