KROMOSOM

Denys Lombard, seorang sejarahwan Perancis, menyebut “silang budaya,” pembauran dari aneka budaya barat dan timur, menghasilkan nusantara. Temuan prasejarah, seperti lukisan purba di dinding gua-gua, artefak-artefak arkeologis, hingga keanekaragaman bahasa, memperlihatkan kebinekaan sudah berlangsung lama.
Bertahun kemudian, lembaga riset Eijkman melakukan sebuah pencarian saintifik menelusuri perpindahan dan persebaran manusia, melalui jejak dari bagian tubuh yg paling renik : KROMOSOM. Sebermula dari Afrika (out of Africa), mitokondria (yg hanya diturunkan oleh kaum hawa) merekam kelana manusia prasejarah menyebar melintas benua menyusuri khatulistiwa, mencari wilayah2 baru yang subur dan memberi ruang hidup.
Salah satunya nusantara, yang kemudian menjadi ruang tunggu sebelum beranjak ke utara maupun selatan. Migrasi yang berlangsung dalam beberapa gelombang penjelajahan. Alih-alih menyebar dan terpisah, para nenekmoyang itu justru saling kawin mawin membentuk 500an suku bangsa dan menuturkan lebih dari 700 bahasa seperti saat ini.
Mula-mula adalah penutur Papua mengisi pojok timur nusantara dan lalu penutur Austronesia dan Austroasia yang datang kemudian. Kawin mawin diantara penutur- penutur itu menghasilkan gradasi keragaman genetik dari barat-tengah-timur nusantara. Sehingga masyarakat Indonesia saat ini sebenarnya disatukan oleh pencampuran motif genetik Austronesia, Austroasiatik, dan Papua dengan komposisi bervariasi. Belakangan, sebagian populasi mendapat tambahan gen India, Tiongkok, Arab, dan Eropa.
Inilah yang membentuk genetika manusia Indonesia. Indonesia saat ini bukan saja “Silang Budaya” tapi juga “Silang Genetika.” Inilah takdir kita: sudah beragam sejak dari genetika. Karenanya, menolak keragaman adalah melawan takdir!
Depok, 13 Februari 2017

Leave a comment