Kemitraan Konservasi: Pengalaman dari Taman Hutan Raya (TAHURA) Nipa-Nipa, Sulawesi Tenggara

Tahura (Taman Hutan Raya) Nipa-Nipa adalah kawasan pelestarian Alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan satwa, baik jenis asli maupun bukan asli. Kawasan ini juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya dan pariwisata.  Kawasan Tahura Nipa-nipa ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomer: 103 /Kpts-II/1999 pada tanggal 1 Maret 1999, yang sebelumnya bernama “Tahura Murhum”. Secara administratif, Tahura Nipa-nipa (7.877,5 ha) terletak di dua wilayah pemerintahan kabupaten, yaitu kabupaten Konawe dan Kota Kendari. Di Bagian Utara seluas(5.574,9 ha) merupakan wilayah Kabupaten Konawe dan bagian Selatan merupakan wilayah Kota Kendari (2.302,6 ha).

Pembentukan Tahura Nipa-Nipa telah melalui proses panjang yang diwarnai sengketa antara masyarakat yang tinggal di sekitar pegunungan Nipa-Nipa dengan pemerintah yang berlangsung sejak 1974. Berbagai upaya untuk menyelesaikan konflik dibuat atas prakarsa masyarakat dan pemerintah, namun selalu gagal, dimana Pemerintah ingin masyarakat meninggalkan hutan, sementara masyarakat ingin membangun pertanian di areal tersebut. Pada 2001-2007 melalui pendampingan LEPMIL, teridentifikasilah 17 Kelompok Tani Pelestari Hutan (KTPH) dengan anggota sekitar 1030 keluarga dan mengelola lahan seluas 524,99 Ha di kawasan blok khusus Tahura dan dikeluarkan Perda No.5/2007 tentang pengelolaan Tahura Nipa-Nipa.

Kendati Perda No.5/2007 telah mengatur mekanisme kolaborasi, namun sejak ditetapkan belum ada satu pun kesepakatan kolaborasi antara KTPH dengan UPTD yang memberikan izin pengelolaan. Beberapa kendala pada saat itu diantaranya belum adanya aturan yang memberi peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkan kawasan konservasi. Perda juga tidak mengatur cakupan kegiatan yang dapat dikolaborasikan. Selain itu Pihak UPTD Tahura Nipa-Nipa, masih belum menemukan strategi yang tepat mengakomodir KTPH dalam Kawasan Tahura Nipa-Nipa sebagai hutan konservasi;

Meski demikian, beraneka praktek-praktek pengelolaan sudah berjalan, seperti pengelolaan kebun oleh kelompok tani pelestari hutan (KTPH) yang ditanami tanaman produktif dan bernilai ekonomi (seperti cengkeh, mete, maupun buah-buahan) yang menjadi sumber penghasilan alternatif keluarga. Juga ada wisata air jatuh, pengelolaan air minum, hingga penggunaan kawasan untuk lintasan sepeda gunung. Selain itu, dalam beberapa waktu terakhir, Kementerian Kehutanan menerbitkan peraturan baru terkait pengelolaan Jasa Lingkungan Wisata Alam, Jasa Lingkungan Air maupun pembentukan Kesatuan Pemangkuan Hutan Konservasi (KPHK) yang belum terakomodasi di dalam Perda No.5/2007 tersebut.

Hingga pada 2012, dimulailah proses pendampingan multipihak yang dilakukan oleh AGFOR dengan bersandar pada filosofi “nasi bambu,” makanan khas Sulawesi Tenggara, dimana nasi yang telah diberi bumbu, dimasak di dalam wadah bambu. Bambu dibakar dari berbagai arah agar matang sempurna. Filosofi ini menjadikan proses pendampingan dilakukan secara multipihak, bukan hanya satu pihak. Sehingga ketika dipertemukan, para pihak telah siap untuk bersepakat.

Jalan panjang dilakukan mulai dari melakukan kajian baseline, mengidentifikasi para pihak, hingga serangkaian program pengembangan kapasitas, baik untuk kelompok tani pelestari hutan (KTPH) maupun team building bagi staf UPTD Balai Pengelola (BP) Tahura Nipa-Nipa. Komunitas Teras bersama CIFOR melakukan kajian cepat kapasitas kelembagaan terhadap 17 KTPH yang ada. Hasilnya, hanya 4 KTPH yang masih jelas bentuk kelembagaan kelompoknya, ada pengurus dan anggota serta memiliki program dan kegiatan. Empat KTPH itu adalah Tumbuh Subur, Subur Makmur, Medudulu dan Pokadulu Dua. Selain itu, ICRAF turut melakukan kajian kerentanan dan potensi kehati serta pengembangan kebun bibit masyarakat. Intinya, keempat KTPH ini difasilitasi untuk mengembangkan model pengelolaan lahan dan kawasan yang berdasarkan prinsip tata kelola yang mendukung pada pelestarian alam dan kesejahteraan. Untuk memperkuat pemahaman pengelolaan

Setelah kedua belah pihak siap, ICRAF, CIFOR dan Komunitas Teras memulai proses multipihak dengan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Pengelolaan Bersama Tahura Nipa-Nipa pada bulan Mei 2015. Pokja yang terdiri dari Staf UPTD BP Tahura Nipa-Nipa, perwakilan 4 KTPH dan Komunitas Teras, kemudian merumuskan visi dan misi Pengelolaan Tahura Nipa-Nipa. Menurut Rustam Br, Kasie Program UPTD Tahura Nipa-Nipa, keberadaan Pokja mampu merubah prasangka jelek antara UPTD BP Tahura Nipa-Nipa terhadap keberadaan KTPH, maupun sebaliknya, menjadi prasangka yang baik dan hal tersebut menjadi landasan awal untuk membangun kolaborasi.  Selanjutnya, Pokja dengan melibatkan para anggota dari 4 KTPH melakukan pemetaan potensi kehati, penyusunan blok pemanfaatan lahan untuk KTPH, hingga menyepakati rencana kelola dan jenis tanaman yang boleh ditanam di lahan kelola KTPH, serta lokalatih penanganan konflik sumberdaya alam hingga studi banding ke Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Selain pengembangan kapasitas, penguatan kebijakan juga dilakukan. Diawali dengan lokakarya multipihak Refleksi Pengelolaan Tahura Nipa-Nipa pada Juni 2014 yang merekomendasikan pentingnya kolaborasi dalam pengelolaan Tahura Nipa-Nipa dan usulan program, kegiatan maupun strategi untuk pelembagaan kolaborasi tersebut. Langkah selanjutnya merevisi Perda Prop. No.5/2007, melalui kajian dan konsultasi public kemudian lahirlah Perda No.6/2014 yang memberikan ruang implementasi kolaborasi pengelolaan Tahura Nipa-Nipa melalui mekanisme kemitraan untuk pemanfaatan lahan hutan, pada September 2014. Agar menjadi lebih operasional, dilanjutkan dengan menyusun Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (RPJP) Tahura Nipa-Nipa, Rencana Rehabilitasi dan Rencana Blok (pada Oktober 2014). Sesudahnya mulailah dirancang proses penyusunan Peraturan Gubernur (Pergub) untuk penerapan kolaborasi, melalui serangkaian diskusi dan konsultasi public. Akhirnya pada bulan Juni 2016 disahkanlah Pergub  No. 18/2016 Kolaborasi pengelolaan Tahura Nipa-Nipa.

Menandai disahkannya Pergub tersebut, pada 22 Juni 2016 dilakukan penandatanganan naskah kesepahaman kerjasama (MoU) Pengelolaan Kawasan Tahura Nipa-Nipa antara UPTD. BP Tahura Nipa-Nipa dengan KTPH Subur Makmur. Langkah membangun kolaborasi ke depan khususnya KTPH yang berada dalam blok khusus yaitu menerapkan pola wanatani yang berorientasi pada konservasi lahan dan peningkatan produksi hasil tanaman.  Pengelolaan lahan diarahkan pada hal-hal sebagai berikut:

  1. Lebih mengedepankan pengolahan lahan yang sifatnya konservasi lahan;
  2. Jenis tanaman MPTS, lebih mengutamakan tanaman yang memiliki nilai pohon tidak komersial;
  3. Pengelolaan tanaman, diharapkan memiliki ciri produksi khas Tahura Nipa-Nipa;
  4. Tanaman yang dikembangkan memiliki cakupan kanopi yang menutup lahan terbuka, serta bersifat organik.
  5. Mengembangkan model/pola pertanaman sebagai kebun campur yang mendukung upaya konservasi lahan.
  6. Lebih mengutamakan produksi Hasil Hutan Non Kayu.

Menurut Ir. Wiratno, MSc, selaku Direktur PKPS KLHK, dalam sambutannya pada penandatangan MoU tersebut, menyatakan, “Ini adalah contoh bagaimana perhutanan sosial juga dapat diterapkan di kawasan konservasi, bukan saja untuk menyelesaikan konflik, tetapi juga untuk kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan dan pelestarian hutan itu sendiri.”

 

Kendari, 25 Juni 2016

 

Leave a comment