BARU

Masih ingat video seorang petinggi kesehatan di California yang tengah memberikan konferensi pers terkait penyebaran coronavirus dan setelah menyarankan untuk tidak menyentuh wajah, hidung dan mulut, Ia justru menjilat jarinya sesaat sebelum membuka halaman baru saat berada di podium.
Ini adalah contoh klasik bagaimana ketika sebuah informasi baru, bahkan dengan tingkat kegentingan seperti coronavirus tersebut, tidak serta merta menimbulkan tindakan baru. Bagi para pendidik, penemu, penyuluh maupun fasilitator, tentu mahfum, ada proses panjang diadopsinya sebuah informasi baru untuk menjadi tindakan baru. Saya teringat teori yang dikembangkan oleh Everest M. Rogers dalam tentang adopsi inovasi. Karena proses adopsi, tidak hanya soal menerima (sebagai pengetahuan baru), tapi merupakan proses mental dalam diri untuk mengambil keputusan menerima atau menolak informasi baru tersebut.
Setidaknya ada lima tahapan untuk mengadopsi sebuah informasi baru mulai dari tumbuhnya kesadaran (awareness), menaruh minat (interest), evaluasi (evaluation), mencoba (trial), hingga adopsi (adoption). Mari kita refleksikan sejak mewabahnya coronavirus di Wuhan dan kemudian menjalar ke berbagai belahan dunia hingga Indonesia, apa yang telah kita sendiri lakukan? Masih bekutat mengumpulkan informasi? Sudah ikut menyebarkan informasi yang terpercaya? Atau sudah ikut mengevaluasi mana informasi yang signifikan dan ikut mengkritisi kebijakan pemerintah terkait penanganan virus ini? Sudah menerapkan self-lockdown dan menerapkan gaya hidup bersih nan sehat? Atau malah sudah turut membagikan masker dan hand-sanitizer, bahkan membentuk grup komunitas untuk ikut menanggulangi hal tersebut?
Itu baru penilaian untuk diri sendiri. Bagaimana ketika informasi baru tersebut disebarkan kepada publik yang lebih luas? Rogers, lebih jauh membagi 5 tipe kelompok yang akan bereaksi terhadap informasi baru yang membentuk kurva. Tipe pertama adalah para Inovator, yang berciri aktif mencari informasi terkini dan terpercaya untuk kemudian membaginya kepada public yang lebih luas. Mereka cepat berinovasi, berani mengambil risiko, berpendidikan cukup baik, relatif berusia muda, mobilitas sosial cukup tinggi, mempunyai pendapatan di atas rata-rata, sebagai perintis pemula dalam adopsi pengetahuan baru. Jumlah kelompok ini kurang dari 2.5% dari populasi.
Tipe kedua disebut Early Adopter, bercirikan kuat dan gemar memimpin pendapat (opinian leader), berani mengambil risiko, berpendidikan cukup baik, relatif berusia muda, mobilitas sosial cukup tinggi, memiliki pendapatan di atas rata-rata, segera mencoba dan menerapkan dari informasi baru tersebut. Mereka inilah golongan pembaharu dengan populasi sekitar 13.5%.
Tipe ketiga adalah Early Majority, biasanya mempunyai rasa kehati-hatian dalam mengambil keputusan, mobilitas sosial kurang, berpendidikan rata-rata, usia relatif muda, akan mengadopsi setelah melihat bukti dari orang lain. Jumlah kelompok ini 34% dan kebanyakan dari mereka adalah pemimpin komunitas atau bahkan berada sebagai pengambil kebijakan.
Keempat, Late Majority dengan populasi 34%. Kelompok ini cenderung bersikap skeptis terhadap inovasi/informasi baru, usia relatif lebih tua, status sosial relatif rendah, mobilitas sosial rendah, kalau mengadopsi lebih disebabkan karena perasaan malu/segan, bukan karena penilaian yang positif terhadap inovasi.
Dan terakhir, Laggard, seringkali berorientasi lokal dan masa lalu, berfikiran dogmatis, dibutuhkan waktu lama untuk meyakinkan mereka agar mengadopsi inovasi/pengetahuan baru, atau bahkan akan menolak selamanya. Inilah kelompok dengan populasi 16% yang memilih berlibur atau menghadiri ibadah massal di saat seharusnya belajar/bekerja dari rumah.
Mestinya Pemerintah segera bekerjasama dengan para perintis dan pembaharu tersebut untuk menyebarluaskan praktek penanganan coronavirus, bukan malah dengan para buzzeRp. Pemerintah perlu memperkuat kepemimpinan komunitas melalui komunikasi publik yang lebih baik, kaya data dan terukur langkah-langkahnya penanggulangannya. Bukan cengangas-cengenges dan berujar, “takdir.” Serta bersikap keras dengan melakukan lockdown terbatas kepada kelompok 4 dan 5.
Malangnya pengelompokan model kurva ini, bergerak jadi pyramid, dimana para perintis dan pembaharu semakin sedikit dan membesar di kelompok laggard, karena ulah para buzzer, pemerintah yang tak cepat tanggap dan dendam kesumat politik yang tak berkesudahan.
Depok, 19 Maret 2020

LOCKDOWN

Dalam keriuhan soal perlu tidaknya lockdown dalam upaya mengatasi penyebaran virus Corona COVID 19, di sudut kampong di kaki gunung Kendeng, 140an km dari pusat keriuhan itu, masyarakat Baduy sudah melakukan penutupan area sejak akhir Februari 2020 lalu. Para turis, tamu, maupun siapa pun dilarang memasuki wilayah Baduy, terutama Baduy Dalam. Mereka hanya diterima di kampong Kaduketug, batas akhir dengan dunia luar.
Warga Baduy pun tak boleh keluar kampung. Tapi ini bukan gagah-gagahan gegara sang virus COVID-19. Sebagai komunitas yang tinggal di tanah kancana (bumi yang suci) menganut Sunda Wiwitan (Sunda Cikal-bakal), mereka mengakui sebagai cikal bakal manusia di dunia yang diberi tugas dari Adam Tunggal untuk meneguhkan aturan Wiwitan (Cikal-bakal) dengan bertapa di hutan kesucian (mandala), yakni patuh pada aturan awal menjaga dan meneguhkannya.
Mereka tengah melakukan pikukuh atau kewajiban adat patikrama yang tak boleh dilanggar, “ngukus ngawalu muja ngalaksa,” yaitu menyelenggarakan upacara Kawalu dan pemujaan dengan membuat makanan yang disebut Laksa. Kawalu adalah rasa syukur atas keberhasilan dalam pertanian yang diwujudkan dengan cara berpuasa. Setiap tahunnya, Kawalu dilakukan sebanyak 3 kali, di bulan Kasa untuk kawalu tembey (awal), Karo untuk kawalu tengah, dan Katiga untuk kawalu tutug (akhir). Puasa ini diikuti oleh seluruh warga baik laki-laki, perempuan, anak-anak yang sudah disunat, dan bermakna untuk membersihkan diri dari hawa nafsu yang buruk. Puasa dimulai sejak tengah malam tanggal 16 dan dan keesokan harinya tanggal 17 mereka berganti pakaian dengan pakaian baru dan bersih berduyun-duyun berangkat ke daerah tangtu masing-masing: Cibeo, Cikeusik, atau Cikretawana.
Mereka diterima di rumah girang seurat, para kaum perempuan kemudian membuat masakan yang berasnya dihasilkan dari humaserang ditambah dengan lauknya hasil ngalanjak. Apabila beras dari humaserang kurang maka ditambah dengan beras yang dibawa oleh masing-masing. Masakan yang diutamakan adalah saji yang dimasukkan ke dalam ancak dengan aneka lauk pauk dari ladang. Kira-kira pukul dua malam, Pu’un bersama perangkat adat diiringi oleh warganya pergi ke sungai untuk melakukan mandi, rambut dilangir, badan disucikan, ruhani dibersihkan. Selesai mandi, Pu’un dan perangkatnya naik ke bale adat. Dalam sikap sembah, Pu’un membaca mantera, diikuti oleh seluruh peserta upacara. Selesai membaca mantera, maka puasa diakhiri dengan makan-makan saji yang ada dalam ancak. Khusus untuk kawalu tutug, sebelum dilaksanakan, biasanya mereka melakukan ziarah ke Sangiang yang letaknya di Gunung Sorokokod, kemudian dilanjutkan ziarah ke Mandala. Setelah selesai berziarah barulah ritual ngalaksa dilaksanakan sesuai dengan tanggal yang telah ditetapkan adat dengan urutan: kampong Baduy Tangtu/Dalam, Baduy Panamping/Luar dan Dangka.
Proses ngalaksa dilaksanakan oleh kaum ibu, bahan dasarnya adalah padi yang berasal dari humaserang ditambah dengan padi yang ditumbuk dari warga. Setelah selesai padi ditumbuk, kemudian disimpan di rumah girangseurat selama tiga hari, setelah itu baru diisikan (dibersihkan/dicuci) dan ditumbuk menjadi tepung, lalu dilomay (diseduh dengan air) selama satu malam. Setelah dilomay menjadi adonan kemudian dibungkus dengan daun patat (phyrum pubigerium), lalu direbus hingga masak. Adonan ditumpahkan ke dalam nyiru (niru) dan dibawa ke saung panglaksaan. Para pembuat Laksa haruslah kaum perempuan yang baik hatinya, bersih, dan jujur. Pada saat ngalaksa ini juga dilakukan cacah jiwa dengan cara sederhana, yakni setiap kepala keluarga menyerahkan ikatan tangkai padi sesuai dengan jumlah anggota keluarganya kepada kokolot kampung setempat.
Setelah selesai semua ritual tersebut, masyakat Baduy bersiap untuk melaksanakan Upacara Seba, yaitu kunjungan warga Baduy kepada Pemerintah (Bupati Lebak dan Gubernur Banten, sebagai bapa gede). Tujuannya untuk mengharapkan keselamatan dan rasa syukur kepada Tuhan, bahwa selama setahun masyarakat Baduy mampu mempertahankan kepercayaan dan tradisi leluhur mereka. Dalam kegiatan itu, disampaikan: amanat Puun (hasil dari muja kawalu), memberikan laporan selama satu tahun di daerahnya, harapan warga Baduy, menyerahkan hasil bumi, dan untuk mempererat ikatan tali silaturahmi secara formal kepada Bapak Gede.
Begitulah, menutup diri kawalu menjadi bagian dari tradisi adat untuk bertapa bagi kesejahteraan dan keselamatan pusat dunia dan alam semesta. Tradisi yang membawa masyarakat Baduy menghormati, merawat dan menjadi bagian dari alam. Alam kemudian memberikan aneka ragam lauk pauk yang berujung pada kemandirian pangan. Kemandirian pangan menjadi syarat mutlak kemampuan menutup diri.
So, di tengah hiruk pikuk penyebaran virus Corona Covid-19 dan tuntutan untuk lockdown, adakah jaminan kemandirian pangan di sana?
Depok, 18 Maret 2020

SEKOTENG

Sebagai warga Depok, berhari2 ini diriuhi soal Corona: 2 penderita awal berasal dari Depok. Dan yg hitz di hari ini, di tengah tren meningkatnya jumlah pasien terinfeksi Corona di Indonesia, eh di sudut Depok bertebaran ajakan untuk mengikuti acara olahraga dan kumpul warga bertajuk, “Depok Aman, Indonesia tidak takut Corona.”
Sebuah langkah ganjil, yang kemudian dibatalkan, menyusul surat keputusan Walikota untuk menghentikan aktivitas kumpul warga juga sekolah hingga 2 minggu mendatang.
Jadilah malam minggu ini sedikit lebih tenang. Di tengah gemuruh hujan, tetiba di jalan komplek terdengar bunyi mangkuk berdenting, khas sekali. Tanpa pikir panjang, kami berteriak, “bang, sekoteng!”
Tak lama, kami takzim menyeruput kehangatan air rebusan jahe dan gula merah, ditingkahi potongan roti tawar, kolang-kaling, kacang tanah, kacang hijau, dan pacar cina. Ada rasa lega di kerongkongan dan hangatnya menyebar hingga perut, memungkasi dingin dan basahnya malam.
Jaman awal2 di Depok, penjual sekoteng memanggul dua bakul, satu bakul berisi panci air jahe beserta dengan kompornya dan satu sisi yang lain adalah tempat untuk bahan campuran, mangkuk dan tempat untuk mempersiapkan sekoteng, serta jengkok untuk duduk sang penjual saat melayani pembeli. Tapi kini, kebanyakan penjualnya sudah menggunakan gerobak dorong dan penjualnya melayani sambil berdiri.
Belakangan saya jadi tahu kalau minuman hangat ini berasal dari Tiongkok: Su Ko Thung, dari bahasa Hokkian yang berarti sup 4 buah-buahan. Minuman ini berisi 4 buah yang dikeringkan, yaitu kacang amandel, biji jali, biji teratai, dan lengkeng. Atau shiguoteng, shi artinya 10, guo artinya buah, dan teng artinya sup atau kuah. Sepuluh di sini bukan berarti buahnya ada 10 macam, tapi maksudnya buahnya itu banyak. Kok mirip dgn orang Betawi yah, nyebutnya Pulau Seribu, padahal mah cuma 112 pulau.
Minuman ini sudah ada sejak masa pemerintahan Dinasti Qin sekitar 221-206 SM. Entah kapan masuk ke pulau Jawa, namun telah mengalami pribumisasi menjadi dilafalkan sekoteng (nyokot weteng/menggigit perut) dan isinya menyesuaikan dengan buah dan biji yang ada di Indonesia.
Begitulah Tiongkok dalam kehidupan kita bernusantara.
Depok, 14 Maret 2020
Gambar mungkin berisi: makanan

DESA BARU PELEPAT : Membangun Kolaborasi dan Belajar Bersama untuk Pengelolaan Hutan yang Adil dan Lestari

Desa Baru Pelepat terletak di sekitar aliran sungai Batang Pelepat yang menjadi bagian dari DAS Batanghari, di Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi. Desa ini berjarak sekitar 300 km dari ibukota propinsi dan 70-an km dari kota Muaro Bungo, yang termasuk dalam kecamatan Pelepat Ulu. Karena letaknya yang hanya berjarak 50-an km dari Taman Nasional Kerinci Seblat, desa kami menjadi daerah penyangganya (buffer zone). Sungai Batang Pelepat adalah urat nadi kehidupan kami. Selain sebagai sumber air, warga memanfaatkan untuk mandi, berwudhu, mengambil ikan, mencuci baju dan piring di sungai ini.  Bahkan, sebelum dibuka jalan ke desa pada tahun 1997, warga terbiasa menggunakan perahu untuk menuju kota kecamatan.

Di desa ini, sebagian besar lahan digunakan masyarakat untuk menanam padi ladang. Pembukaan ladang dimulai pada pertengahan musim kemarau, dengan merintis lahan, baik itu sesap maupun rimbo, secara bergotong royong, laki-laki dan perempuan, anak-anak maupun orang tua.

Membuka ladang dilakukan secara kumpak (bersama-sama), serempak (berbarengan waktunya), dan setumpak (satu hamparan). Kemudian kaum perempuan menebas tanaman-tanaman kecil (nabeh), hasil tebasan lalu didiamkan mengering sekitar dua minggu. Setelah itu, kaum lelaki pun mulai menebang (numbang) pohon-pohon besar di areal ladang, sedangkan kaum perempuan memotong dahan dan ranting (modah). Dahulu kaum lelaki menggunakan kapak beliung untuk menebangnya, namun kini cukup dengan chainsaw. Kayu dan ranting tebangan lalu didiamkan mengering selama sebulan, untuk kemudian dibakar agar tanah mendapatkan tambahan hara.

Setelah lahan siap, di awal musim hujan, mulailah benih padi ditanam secara bergotong royong. Kaum lelaki biasanya menugal (merencam atau menanjak), dan perempuan menuang benih  ke lubang (memenih). Untuk kegiatan pemeliharaan, pencarian bibit dan menentukan jenis tanaman yang akan ditanam, sepenuhya dilakukan oleh kaum perempuan. Penanaman jenis tanaman tersebut disesuaikan dengan kondisi tanah. Untuk tanah yang datar ditanami jagung, ubi jalar, kacang tanah, labu dan gambas. Untuk tanah yang kondisinya miring ditanami pisang, dan ubi kayu.

Selain padi, ladang juga ditanami palawija, seperti jagung, kacang, ketela, dan lainnya. Bila hasilnya berlebih,  warga menjualnya di sekitar desa maupun ke kota kecamatan maupun ke kota Muara Bungo.

Selain hutan dan ladang, warga juga memanfaatkan sumberdaya lain yang ada di desa, seperti sungai. Pada musim kemarau warga mendulang emas, sungai juga menyediakan sumber ikan untuk konsumsi sehari-hari. Tidak semua daerah aliran sungai ikannya dapat diambil, karena desa ini mempunyai aturan adat Lubuk Larangan. Aturan ini membatasi pengambilan ikan dalam suatu lubuk sungai dalam jangka waktu yang ditentukan. Biasanya antara 6 bulan hingga dua tahun. Tujuannya adalah selain untuk menjaga kelestarian populasi ikan sungai, juga sebagai sumber dana pembangunan desa dimana hasil penjualan ikan akan digunakan untuk kebutuhan desa, serta untuk mengikat semangat solidaritas dan kebersamaan antar sesama penduduk desa. Sebelum ditutup, lubuk sungai dibacakan Surah Yasin sebanyak 40 kali.

Dengan adanya aturan Lubuk Larangan ini, memperlihatkan model pengelolaan sumber daya alam yang mendasarkan pada kearifan aturan lokal dalam turut menjaga kelestarian dan keanekaragaman hayati yang ada.

Asal usul penduduk asli Desa Baru Pelepat adalah keturunan Datuk Sinaro Bapayung Putih yang berasal dari daerah Pagaruyuang. Sumatera Barat. Bersama Desa Batu Kerbau dan Dusun Lubuk Telau (desa Rantel), setiap dua tahun sekali ketiga desa itu mengadakan upacara adat “Turun Ba Taun dan  »doa memberi makan tanah nan bainduk..” Upacara ini dilakukan sesaat sebelum musim tanam padi.

Upacara dilakukan selama 3 hari. Salah satu acara adalah musyawarah para pemangku adat di Rumah Godang Tigo Toipah, yaitu rumah “batungku caka balapiak lusuh” (artinya tempat bermusyawarah Datuk Sinaro dan masyarakat nya). Sehabis musyawarah dilanjutkan dengan pemotongan kerbau sebagai bentuk syukur dan doa untuk memulai musim tanam berikutnya.

Selama Upacara, berbagai acara kesenian digelar, antar lain Lesung Emping, yaitu memukul berirama lesung oleh seluruh penduduk. Balawat, yaitu berbalas pantun dengan menggunakan lagu antara pemuda dan pemudi, Ambung Gilo maupun lagu-lagu daerah lainnya dengan alat musik Talempong dan gendang. Persiapan acara kesenian ini dilakukan secara gotong royong, yang umumnya dilakukan oleh para pemuda.

Melalui kegiatan inilah kami dapat menjaga dan melestarikan nilai-nilai luhur adat kami. Meneruskan pembelajaran adat dari generasi tua kepada generasi muda. Kegiatan ini juga menguatkan kembali hukum-hukum adapt dan meneguhkan solidarits dan identities kami sebagai satu kesatuan masyarakat.

Muara Bungo, 26 Juni 2007

DESA GENGGELANG: Konsolidasi warga untuk membangun Kemitraan Kehutanan

Desa Genggelang berbatasan dengan Desa Rempek dan kawasan hutannya berada dalam satu bentang alam dari Rempek hingga ke Mongal yang menjadi bagian dari blok hutan Koko’ Sidutan Register Kelompok Hutan 1 Gunung Rinjani dengan luasan 7,248.88 hektar. Pada awal tahun 1980-an, banyak warga masyarakat Genggelang yang dilibatkan oleh Pemprop NTB dalam proyek penanaman kopi di bawah tegakan di kawasan hutan. Petani kopi yang terlibat diwajibkan untuk menyerahkan 50% hasil panen kopinya sebagai sumber pemasukan kas daerah. Namun, karena sebagian besar lahan penanaman berbatasan dengan Desa Rempek, justru proyek tersebut memicu ketegangan antara warga kedua desa.

Namun sengketa sesungguhnya baru muncul ketika, ketika Menteri Kehutanan pada 1990 memberikan ijin kepada PT. Angkawijaya Raya Timber (PT. ART) untuk melakukan pengusahaan hutan di kawasan hutan Rempek-Monggal. Sengketa muncul, menurut Haeril Anwar, tokoh Pemuda dan juga Kepala Desa Genggelang, karena “Kala itu warga merasa terpinggirkan dan hanya penonton dari kegiatan pembalakan oleh perusahaan”. Belakangan aktivitas HPH kian mendapatkan kecaman dan penolakan masyarakat, karena areal pembalakan banyak dijumpai mata air yang menjadi sumber air kebutuhan masyarakat. Selain itu, aktivitas produksinya terbukti merusak jalan dan jembatan desa akibat hilir mudik mengangkut kayu bulat (log). Apalagi proses perizinannya tidak pernah mengajak masyarakat untuk bermusyawarah dan kemudian membatasi akses masyarakat untuk mengelola hutan. Menurut Sirajudin, Kepala Resort Lombok Utara KPHL Rinjani Barat, kondisi tersebut memicu kecemburuan masyarakat terhadap perusahaan pengelola HPH dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah yang dianggap tidak peduli terhadap keberadaan masyarakat di sekitar hutan. “Puncaknya pada saat reformasi 1998-1999, warga masyarakat kemudian menghentikan aktivitas perusahaan, membakar camp, serta mengusirnya,” lanjut Sira, demikian ia biasa dipanggil.

Menurut Almaududi, seorang aktivis lembaga swadaya lokal Genggelang, berhentinya PT. ART justru mendorong masyarakat untuk beramai-ramai masuk ke kawasan hutan, melakukan aksi pengrusakan fasilitas kehutanan, pembalakan liar, perambahan, penyerobotan serta penguasaan kawasan hutan. “kawasan hutan menjadi open access, siapa saja, dari mana saja masuk menggarap hutan. Yang pandai chainsaw dia tebang pohon, yang lain membuka kebun kopi. Dulu hampir 90% warga itu pembalak, entah sebagai penggesek (penebang) pohon, pemikul maupun pemodalnya,” lanjut Hendro, mandor dan pengaman hutan dari Desa Genggelang. Mereka juga melakukan aksi bisu terhadap petugas kehutanan, bahkan melakukan perlawanan dan pengusiran serta menolak beraneka program kehutanan yang ditawarkan Pemerintah. Hal ini membuat berbagai pendekatan yang dilakukan oleh Pemerintah kepada para tokoh masyarakat selalu gagal.

Kopi memang menjadi tanaman unggulan di desa ini. Masyarakat Genggelang sudah mengenal kopi sejak sebelum jaman kemerdekaan. Kala itu banyak warga cina pendatang yang meminjam lahan kepada pemerintah kolonial masa itu untuk menanaminya dengan  kopi. Waktu itu, masyarakat tidak berani menanam kopi secara terang-terangan dan hanya mengembangkan kopi yang bijinya diperoleh dari kotoran luwak/musang. Kemudian, setelah kemerdekaan, orang-orang cina pendatang itu pergi, meninggalkan lahan-lahan  kebun kopinya yang kemudian disita negara. Masyarakat kemudian membeli lahan-lahan kebun kopi tersebut. Sejak itulah budidaya menanam kopi muncul di desa Genggelang ini.

Kopi semakin menjadi pilihan utama mengelola lahan, ketika pada awal tahun 1980an ada proyek sabuk penyangga kawasan hutan yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah dengan penanaman kopi di bawah tegakan. Kopi ditanam di sepanjang batas hutan, seluas 100 meter dari batasnya. Dari hasil panen kopi yang diperoleh petani penggarap, 50%nya wajib diserahkan kepada Dinas Kehutanan Propinsi untuk menjadi kas daerah. Pada tahun 2009, diperkenalkan teknik kopi sambung, dimana batang bawah adalah kopi, sedangkan dahan atas disambung dengan jenis unggul. Teknik ini diperkenalkan oleh orang Bali, bernama Made Tumbuh. Awalnya ia mengembangkan kebun kopi sambung di lahan yang berbatasan dengan kawasan hutan. Keberhasilannya telah banyak diikuti oleh petani yang menanam kopi di luar kawasan hutan. Maka pada 2009, mulailah dicoba ditanam di kawasan hutan. Saat ini 1 ha kebun kopi sambung bisa menghasilkan 3-4 ton biji kopi. Dampak dari kopi sambung ini, sekarang sebagian jenis tanaman lain juga disambung, seperti durian lokal dengan durian thailand, kakao lokal dengan kakao unggul. Selain itu, hasil yang diperoleh mampu meningkatkan kesejahteraan petani penggarap. Terbukti sejak 2009, semakin sedikit warga yang mencari kerja ke luar negeri dengan menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI). Selain itu, Desa Genggelang paling banyak menghasilkan haji untuk pulau Lombok.

Sebenarnya pendekatan Dinas Kehutanan kepada masyarakat telah dimulai sejak 1999, ketika HPH berakhir. Melihat kondisi hutan yang dirambah oleh banyak pihak, AlMaududi, tokoh Pemuda saat itu, mengajak beberapa pemuda desa untuk mulai memikirkan kondisi lingkungan desa dengan membentuk Forum Komunikasi Pemuda Genggelang (FKPG) serta mendorong isu penyelamatan mata air. “Kalo mata air rusak, dari mana kita bisa minum dan memenuhi kebutuhan air sehari-hari?” papar Dodi menjelaskan mengapa penyelamatan mata air menjadi tujuan utama kegiatan mereka. Mereka lalu mengusulkan program tersebut kepada Dinas Kehutanan Propinsi yang ditindaklanjuti oleh Pak Madani Mukarom (Staf Dishutprop kala itu) dengan mengadakan proyek rehabilitasi mata air. Awalnya mereka memetakan mata air yang berada kawasan hutan Rempek-Monggal dan teridentifikasi ada 18 mata air. Setelah itu dilakukan penanaman bersama kelompok-kelompok penggarap di sekitar mata air tersebut. Jenis yang ditanam terutama rajomas (Duabanga mollucana), yaitu jenis tanaman kayu lokal yang cepat tumbuh dan mudah didapat. Selain itu, karena tumbuhnya lurus, memberi nilai ekonomi yang cukup tinggi pada kayu tersebut.

Hubungan dengan Pak Dani semakin akrab, saat KPHL Rinjani Barat terbentuk pada tahun 2010 dan beliau diangkat menjadi Kepalanya. Di bawah kepemimpinan Pak Dani, KPH melakukan pendekatan yang berbeda terhadap masyarakat. Sejak awal KPHL telah melibatkan masyarakat setempat dalam proses sosialisasinya yang dilakukan di sepuluh dusun di Desa Genggelang : Penjor, Kerta, Gitak Demung, Gangga, Sambik, Monggal Bawah, Monggal Atas, Paok Rempek. Lias dan Kujur. Tak jarang sosialisasi harus dilakukan berkali-kali di setiap dusun, agar masyarakat bisa memahami sesungguhnya maksud dari kemitraan tersebut. Sosialisasi dilakukan mushola atau masjid, balai dusun, maupun rumah penduduk.

Menurut Kepala Desa Genggelang, awalnya mereka merasa jenuh dalam melakukan sosialiasi KPH, karena tidak ada tanggapan positif dari masyarakat. Malah kala itu masyarakat sempat mengajaknya untuk bertemu dengan kepala KPH. Dalam pertemuan tersebut, masyarakat meminta agar para mandor dari Desa Genggelang dipecat dan menggangap semua program kehutanan tak ada yang bagus. Maklum saja, di awal masa KPH itu, masyarakat merasa tidak ada sosialisasi, tetapi beberapa warga masyarakat diangkat oleh KPH sebagai mandor, fasilitator dan pengaman hutan. Apalagi kemudian, mereka melaporkan warga yang membuka lahan hutan atau melakukan penebangan liar, bahkan hingga ada yang ditangkap oleh aparat kehutanan. “Orang seperti Dodi dan Hendro ini dulu dianggap galak dan tidak manusiawi, melapor ke aparat dan kemudian ada penangkapan warga,” papar Sirajuddin, Kepala Resort Lombok Utara. Tak jarang Sira, harus beradu mulut dengan warga menjelaskan situasi tersebut, bahwa apa yang dilakukan warga adalah pelanggaran dan mandor hanyalah menjalankan tugas pengamanan kawasan hutan.

Penolakan secara halus juga digaungkan oleh beberapa dusun yang bersedia membangun kemitraan asalkan mereka berada dalam satu kelompok besar, dalam hamparan hutan. Padahal, hamparan hutan Monggal hingga ke Rempek dan mencakup 3 desa: Genggelang, Rempek dan Bentek. Alasannya, model kemitraan harus diterapkan di semua desa, bukan hanya di Genggelang saja, sehingga tidak ada diskriminasi. Alasan lainnya, pengalaman dari aturan Awik-Awik yang diterapkan di desa Genggelang, tetapi desa lain tidak mempunyai aturan yang sama, padahal mereka menggarap di lahan satu hamparan. Sehingga terjadi perbedaan pengelolaan lahan hutan garapan. Akhirnya aturan Awik-Awik tersebut runtuh, karena masyarakat merasa tidak ada gunanya menerapkan Awik-Awik sementara orang lain dari desa lain mengelola hutan dengan cara yang berbeda.

Melihat gelagat demikian, tim sosialisasi Kemitraan yang digawangi oleh AlMaududi dan Hendro akhirnya hanya menyasar dua dusun untuk sosialisasi awal, yaitu Dusun Gitak Demung dan Kerta. Pertimbangannya kedua dusun ini, warga masyarakatnya lebih mudah untuk didekati, ketimbang dusun lain. Namun Pak Kades Genggelang berpendapat lain, bahwa harus semua dusun dilakukan penyuluhan.

Mereka pun terjun dan “bergerilya” ke dusun-dusun untuk mensosialisasikan kemitraan kehutanan tersebut. Pendekatan dusun dipilih, karena sebelumnya mereka pernah menggunakan pendekatan kelompok berdasarkan hamparan yang ternyata kesulitan untuk mengumpulkan anggotanya yang berasal dari berbagai dusun. Sehingga kegiatan kelompok banyak tidak berjalan. Dengan pendekatan kelompok berdasarkan dusun, lebih mudah mengumpulkan warga dan mengajaknya untuk berkelompok dan menerima program kemitraan. Untuk memperkuat dukungan warga, pendekatan kepada tokoh masyarakat maupun tokoh agama dilakukan. Meskipun setiap dusun terkadang harus dilakukan sosialisasi hingga lebih dari 5 kali pertemuan. “Banyaknya pertemuan menandai tingkat resistensi dari setiap dusun terhadap program kemitraan,” seloroh Dodi yang disambut tawa lainnya.

Dalam sosialisasi disampaikan arti pentingnya kemitraan yang dapat memberikan akses legal bagi masyarakat dalam menggarap lahan hutan. “Dalam mengelola hutan perlu legalitas, dan selama ini kita menggarap lahan hutan tanpa legalitas. Dan untuk itu perlu bermitra, menjalin komunikasi dengan pemerintah, khususnya KPH, bisa mengeliminir konflik,“ jelas Haerul. Kemitraan menjadi sarana mendekatkan antara masyarakat penggarap lahan dengan KPH selaku pemangku kawasan. “Karena selama ini, sama-sama melihat dari jauh, sehingga tidak saling memahami satu sama lain. Kemitraan menjadi jembatan untuk saling memahami satu sama lain,” lanjut Pak Haerul.

Pak Kades juga menekankan pentingnya melihat dalam kerangka agama. “Sebelum ada kemitraan, apa yang kita makan dari hasil hutan ini adalah barang syubhat[1]. Karena kita mengolah lahan tanpa seizin pemiliknya, yaitu KPH” paparnya setengah berdakwah. Kemudian dengan tegas Pak Kades menyatakan, bahwa siapa saja yang menolak untuk diatur melalui program kemitraan, tidak akan dibantu pengurusannya oleh pemerintah desa.

Pendekatan seperti ini rupanya cukup menyentuh hati para penggarap dan menggerakkan mereka untuk bergabung dalam kelompok tani di setiap dusunnya masing-masing. Sosialisasi yang panjang, membuahkan hasil dengan terbentuknya 24 kelompok yang tersebar di 11 Dusun dengan total jumlah anggota sebanyak 724 KK. Adapun sebarannya adalah sebagai berikut:

Nama Dusun Jumlah Kelompok
1.     Penjor 1
2.     Kerta 1
3.     Gitak Demung 3
4.     Gangga 1
5.     San Sambik 2
6.     Monggal Bawah 4
7.     Monggal Atas 2
8.     Paok Rempek 3
9.     Lias 3
10.  Kujur 3
11.  Senara 1
TOTAL 24

Setelah dilakukan sosialisasi di tingkat dusun, kemudian dilakukan musyawarah desa yang difasilitasi oleh KPHL Rinjani Barat yang menghasilkan kesepakatan, sebagai berikut:

  1. Para anggota kelompok tani pengelola hutan siap mengikuti program kemitraan
  2. Anggota kelompok sanggup membayar iuran Rp.100.000/ha/tahun yang diserahkan kepada KPHL Rinjani Barat
  3. Bagi hasil atas tanaman kopi: masyarakat sanggup memberikan 10kg kopi setiap panen dengan perincian: 4 kg untuk Pemdes, 3 kg untuk kelompok, dan 3 kg untuk KPH.
  4. Menyepakati rancangan aturan AwikAawik pengelolaan hutan, sebagai berikut
    • Tidak memiliki dan melakukan sertifikasi atas lahan hutan
    • Tidak menebang pohon
    • Tidak melangke[2]
    • Tidak menanam tanaman semusim, padi, kacang, cabe dll
    • Tidak melakukan pengolahan tanah, seperti membajak
    • Tidak menanam kelapa
    • Membuat pondok lebih dari 3 x 4 m, boleh beratap seng.
    • Tidak menggunakan pestisida
    • Tidak menggembalakan ternak di dalam kawasan
    • Boleh menanam cengkeh 25 batang/ha.

Hasil kesepakatan desa tersebut, kemudian menjadi rancangan awal aturan adat, dikenal dengan istilah Awik-Awik dan dan nantinya akan dibuatkan peraturan desa (Perdes) tentang pelaksanaan kemitraan kehutanan. Namun hal ini masih belum dapat direalisasikan, karena kesibukan pribadi para anggota Tim Sosialisasi. Tetapi juga karena Desa Genggelang baru sekitar 1 tahun mengadakan pemilihan Kepala Desa dan BPD, sehingga beberapa dokumen administrasi desa masih belum terlengkapi. “Apalagi kebanyakan anggota BPD adalah orang baru yang belum memahami proses penyusunan peraturan desa, mulai dari merancang, konsultasi publik hingga penetapannya, “ lanjut Dodi.

Kendati demikian, rancangan peraturan tersebut sudah disampaikan kepada pihak KPHL Rinjani Barat . Rencananya rancangan tersebut akan menjadi dasar penyusunan rancangan naskah kemitraan antara KPHL Rinjani Barat dengan Masyarakat Desa Genggelang.

Kini jalan menuju kemitraan sudah terbentang. Dampak pendampingan juga mulai dirasakan. Rehabilitasi mata air mulai dirasakan manfaatnya. Beberapa mata air yang punah atau hampir punah, kini mengalirkan air kembali. Jika di musim kemarau, sering terjadi rebutan air antar warga dusun, kini sudah lebih berkurang intensitasnya. Warga pun jadi lebih peduli, siapapun yang menebang hutan, segera diadukan dan diproses secara aturan Awik-Awik atau langsung ke penegak hukum. Untuk mengurangi rebutan air, Pemerintah Desa kemudian melakukan pengaturan air melalui PAM Desa. “Menata air berarti menata hutan, karena air menjadi kebutuhan bersama, untuk minum dan juga persawahan” demikian tegas Haerul yang baru setahun menjabat sebagai Kades Genggelang, menjelaskan langkah awal penataan air di desanya. “Yang berat itu merubah mindset masyarakat, gak apa gak ada air, yang penting banyak beras dan kopi. Masyarakat lupa, menebang pohon kayu dan memperbanyak kopi, justru membuat tanah tak mampu menyimpan air, ” lanjut Haerul.

Ke depan, dalam bentuk kemitraan nantinya akan diatur juga model pengelolaan lahan oleh masyarakat. Saat ini mereka sudah mengidentifikasi penggarap-penggarap lahan hutan yang sudah menerapkan model pengelolaan lahan dengan memperhatikan jarak tanam, keanekaragaman jenis tanaman yang mencampur antara kayu-kayuan, buah-buahan maupun tanaman perkebunan. Kayu lokal seperti rajumas, keluru, maupun sengon dicampur dengan durian, mangga maupun kopi akan menjadi masa depan kebun warga. “LSM Samanta membantu kami untuk memperbandingkan nilai ekonomi dan konservasi dari satu jenis tanaman dengan tanaman lain. Misalnya, dengan menanam rajumas yang sudah bisa dipanen dalam 5-7 tahun, mampu memberikan pendapatan cukup besar. Bandingkan dengan cengkeh yang pada umur 7 tahun masih belajar berbuah,” terang Dodi.

Selain itu, bersama LSM Samanta, ke depan mereka akan mendorong pembentukan koperasi kelompok penggarap lahan di tiap dusun. Setelah koperasi dusun mampu berjalan, baru akan membentuk koperasi payung di tingkat desa. Harapannya koperasi akan menjadi unit usaha komunitas di tingkat dusun.

Perencanaan lainnya di bawah payung kemitraan adalah memanfaatkan potensi kawasan hutan dan sumber air yang ada sebagai obyek wisata alam. “Kita pengen ada tempat seperti Kebun Raya Bogor, wisatawan lokal bisa memanfaatkan potensi alamnya, mata air dan bentang alam, dan hasil buah-buhannya, terutama saat musim panen juga bisa dinikmati. Ide ini sudah pernah disampaikan kepada pihak Dinas Pariwisata dan Bappeda kabupaten Lombok Utara, dan tinggal menunggu adanya kesepakatan kemitraan antara kami dengan KPHL Rinjani Barat,” papar Haerul menerangkan perencanaan ke depan pengembangan desa.

Bola kemitraan saat ini ada di tangan KPHL Rinjanji Barat. Menurut Sirajuddin, ke depan mereka akan melakukan verifikasi terhadap para penggarap lahan hutan. Selain verifikasi administrasi dan domisili, juga akan dilakukan pemetaan partisipatif. “Harus selalu diingatkan, bahwa kemitraan P.39/2013 itu untuk memberikan akses bagi warga masyarakat yang sudah menggarap di lahan hutan, bukan untuk memobilisasi warga baru untuk menggarap hutan,” tegas Sira. Berdasarkan Permenhut P.39/2013, kemitraan bertujuan mensejahterakan masyarakat dimana pemegang ijin maupun pemangku kawasan (KPH) bermitra dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan dengan mengembangan berbagai komoditas unggulan seperti kopi, kakao, karet dan sebagainya. Selain itu, pemegang ijin juga memfasilitasi terciptanya pasar dari hasil hutan tersebut. “KPH Rinjani Barat sebagai pemangku kawasan siap memfasilitasi baik segi sosialisasi, pemberdayaan maupun penciptaan pasarnya,” ujar Teguh Gatot Yuwono selaku Kepala Seksi Pengolahan dan Pemasaran KPHL Rinjani Barat.

Depok, 18 Agustus 2015

_DSC1257

[1]Syubhat atau subhat adalah istilah dalam ajaran Islam yang menandai suatu keadaan ragu-ragu antara yang dibolehkan agama (halal) dan tidak boleh (haram). Jika menemui kondisi atau barang yang subhat, umat muslim diperintahkan untuk meninggalkannya.

[2] Melangke atau Pelangke, yaitu teknik mematikan kayu dengan cara dikuliti dibagian pangkalnya atau dibor dan diberi herbisida. Kayu dimatikan agar lahannya bisa digunakan untuk tanam kopi atau pisang.

Desa Rempek: Menebar benih kemitraan, memutus rantai sengketa

KPH sekarang, pendekatannya ke masyarakat menerapkan model pendampingan, mereka datang ke masyarakat, ikut dalam kegiatan masyarakat, jarang mengenakan seragam formal dan lebih sederhana. Sehingga penyampaian programnya lebih mudah diterima dan masuk ke dalam hati,” demikian penjelasan Suryadinata, ketua Kelompok Serba Usaha (KSU) Kompak Sejahtera, desa Rempek, ketika ditanyakan apa yang mendorong warga Rempek pada akhirnya mau membangun kemitraan dengan KPHL Rinjani Barat. “KPH sekarang seperti saudara, selalu hadir baik diminta maupun tidak,” lanjut Kasdi Irawan memperkuat penjelasan rekannya. Kasdi dulu dikenal sebagai pihak yang paling menentang program-program kehutanan yang diterapkan oleh pemerintah di desa Rempel, tetapi sekarang justru mendukung program kemitraan.

Bersama Tim 9, sering disebut sebagai Tim WaliSanga, Suryadinata dan Istiadi (dusun Jelitong), Maidianto dan Mahyadi (Rempek Timur), Harianto, Kasdi Irawan, Minarno dan Radium Putra (Busur), serta Rinadim (Rempek),  menjadi penggerak program kemitraan di desa Rempek, kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara. Mereka membandingkan pendekatan kehutanan di masa lampau yang lebih sering menerapkan penegakan hukum dan membuat takut masyarakat dengan aparat. Dan berujung kebencian warga terhadap aparat kehutanan. “Dulu, saking bencinya, kami sering mengintimidasi aparat kehutanan yang sedang bertugas lewat sini. Kadang-kadang sekedar kami pelototi atau menantangnya, tak jarang juga kami sayat jok atau ban sepeda motornya,” seloroh Suryadinata disambut tawa anggota Tim 9 lainnya.

Maklum, Desa Rempek memiliki akar sejarah konflik yang cukup panjang menyangkut lahan kawasan hutan di sekitar desanya. Kawasan hutan yang membentang dari Rempek hingga ke Mongal itu merupakan bagian dari blok hutan Koko’ Sidutan Register Kelompok Hutan 1 Gunung Rinjani dengan luasan 7,248.88 hektar. Kawasan ini pertama kali ditetapkan sebagai hutan pada tahun 1929 oleh pemerintah Hindia Belanda. Selain kawasan hutan tersebut, pada tahun 1957, Pemerintah Daerah Lombok menyerahkan kawasan miliknya seluas 6,250 hektar untuk dikelola oleh Kehutanan dan dikenal dengan Government Ground (Tanah GG)[1]. Tanah GG ini kemudian dijadikan sebagai kawasan penyangga (buffer zone) Kelompok Hutan Gunung Rinjani. Batas antara kawasan hutan dan tanah GG adalah berupa gegumuk, undukan tanah dan batu yang merupakan tata batas kawasan hasil rekonstruksi tahun 1942, dan ditarik sepanjang 3 kilometer. Belakangan, kawasan hutan yang ditetapkan jaman Belanda, dikukuhkan sebagai hutan produksi terbatas (sering disebut kawasan di atas gegumuk)  dan tanah GG menjadi kawasan hutan produksi tetap (sering disebut di bawah gegumuk) yang dikelola sepenuhnya oleh Departemen Kehutanan. Kawasan di bawah gegumuk inilah masyarakat biasa melakukan kegiatan ladang berpindah (mengoma).

Pangkal mulanya konflik ketika Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Barat menggulirkan proyek penanaman kopi di bawah tegakan pada awal tahun 1980an[2]. Sengketa muncul ketika dalam pelaksanaan proyek tersebut, petani yang dilibatkan adalah petani dari Desa Monggal/Genggelang, dan bukan dari Desa Rempek, yang sesungguhnya telah sejak lama berladang di kawasan tersebut. Petani Desa Rempek lalu turut menanami kopi di kawasan tersebut, hingga mencapai luasan + 300 hektar.

Urusan penanaman kopi belum selesai, muncul persoalan baru yang semakin meningkatkan eskalasi konflik, yaitu ketika pemerintah daerah dan BPN menggelar program PRONA (Proyek Operasi Nasional Agraria). Dalam program tersebut, dari 400 ha lahan di desa Rempek, 86 ha berada di dalam kawasan hutan[3], dan kemudian kesemuanya mendapatkan sertifikat, termasuk lahan yang berada di dalam kawasan. Adanya sertifikat tersebut, pada tahun 1989 para penggarap kopi kemudian mengajukan permohonan kepada Gubernur untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Alasannya, mereka telah mengeluarkan biaya untuk menanam kopi di lahan yang mereka yakini sebagai tanah negara bebas (tanah GG). Klaim kawasan sebagai tanah negara bebas ini menimbulkan konflik antara BPN, Kehutanan, dan masyarakat. Perbedaan persepsi atas batas hutan kembali muncul ke permukaan, yang kemudian mendorong perambahan hutan besar-besaran di sekitar Desa Rempek, hingga mencapai luasan 2,018.5 hektar, termasuk di dalam kawasan eks ―Tanah GG seluas + 300 hektar tersebut. Perambahan ini diperkuat dengan adanya surat dari BPN pada 1991 yang menyatakan bahwa kawasan penyangga kopi tersebut berada di luar kawasan hutan, dan merupakan bagian tanah negara bebas (GG).

Menurut Kasdi Irawan, awalnya tanah yang 86 hektar itu disertifikasi melalui PRONA diperuntukkan bagi masyarakat miskin yang tidak mempunyai lahan. Saat pelaksanaan program tersebut, masyarakat diminta keluar dari kawasan hutan dan menghentikan praktek ngoma. Demi sertifikasi, masyarakat pun setuju. Namun kenyataannya, sertifikat tanah dimiliki oleh para pejabat, baik dari tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan dan desa. Kondisi ini membuat masyarakat kecewa dan marah, mereka lalu menduduki tanah hutan di luar yang telah mendapat sertitikat PRONA dan menanaminya dengan kopi. Merasa bahwa kawasan tersebut adalah kawasan hutan, pada 1992, Dinas Kehutanan NTB melakukan tindakan penegakan hukum dengan membasmi tanaman kopi penyangga yang dianggap liar di kawasan seluas + 300 hektar tersebut.

Konflik semakin memanas ketika Menteri Kehutanan pada 1990 memberikan ijin kepada PT. Angkawijaya Raya Timber (PT. ART) untuk melakukan pengusahaan hutan di kawasan tersebut[4]. Hal tersebut mengundang protes masyarakat, hingga puncaknya pada 1999 masyarakat melakukan pembakaran dan perusakan camp dan peralatan operasi perusahaan. Akhirnya, PT. ART menghentikan operasi pada 2000, 10 tahun lebih awal dari masa ijin yang berakhir pada 2010. Menurut Suryadinata, berhentinya PT. ART mendorong masyarakat untuk melakukan perambahan dan pembalakan liar.

Untuk meredakan konflik ini, Kementerian Kehutanan, melalui Kanwil Kehutanan Provinsi NTB, mencoba beraneka program kehutanan. Diantaranya mengembangkan kawasan hutan Rempek-Monggal seluas 500 hektar ditetapkan sebagai areal HKm yang akan dikembangkan secara bertahap dalam 5 tahun pada tahun 1996/97. Namun demikian, proyek ini ditolak oleh masyarakat. Mereka khawatir jika nantinya hutan ditanami kembali, mereka akan terusir dari kawasan tersebut.

Menanggapi situasi tersebut, Pemerintah Daerah dan Departemen Kehutanan pada tahun 1996 mencoba mencari langkah penyelesaian melalui beberapa rapat koordinasi. Salah satu hasilnya adalah adanya rekomendasi untuk mengeluarkan masyarakat dari kawasan seluas 86 hektar yang sudah bersertifikat dan dari 300 hektar kawasan hutan penyangga. Untuk kawasan yang bersertifikat, pemerintah akan mencari lahan pengganti. Namun demikian, keputusan tersebut sampai saat ini tidak pernah terlaksana, karena kembali mendapatkan penolakan keras dari masyarakat.

Masyarakat menolak keras beraneka bentuk upaya penyelesaian konflik pada masa itu disebabkan oleh keyakinan masyarakat bahwa tanah yang mereka kuasai adalah tanah negara bebas (tanah GG). Hal ini tidak terlepas dari pemahaman lokal yang telah berkembang di masyarakat sejak zaman Hindia Belanda tentang batas hutan. Menurut masyarakat Desa Rempek dan sekitarnya, batas hutan yang dikenal di kawasan tersebut ada 2, yaitu pal besi dan gegumuk. Pal besi merupakan batas terluar dari hutan inti atau kawasan hutan yang harus dilindungi. Hutan yang berada di dalam batas ini tidak boleh diganggu oleh siapapun. Hutan merupakan lahan bagi satwa dan kekayaan keanekaragaman hayati yang lain untuk berkembangbiak, serta untuk mengatur tata air dan menjaga keamanan Gunung Rinjani. Sementara itu, gegumuk merupakan batas terluar hutan produksi, yang berjarak 3 kilometer dari pal besi. Di kawasan gegumuk ini, pada zaman Hindia Belanda masyarakat diperbolehkan untuk mengambil kayu untuk keperluan bangungan dan beberapa keperluan lainnya.

Sementara itu, kawasan di luar gegumuk bagi masyarakat merupakan kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan perladangan dan pertanian lainnya. Sejak zaman Hindia Belanda, masyarakat di desa Rempek telah melakukan aktivitas peladangan berpindah di kawasan ini.  “Dulu kami melakukan ngoma (sawah ladang), yang dilakukan secara gawah giliran (sistem gilir balik),[5]” papar Ruspendi, kepala biro sejarah dan budaya Tim 9 yang juga pernah menjadi pengaman hutan kabupaten pada 2008-2009.

Sejak terbentuk pada tahun 2010 KPHL Rinjani Barat mulai melakukan koordinasi dengan tokoh masyarakat, tokoh agama dan Kepala Desa Rempek. Upaya koordinasi tersebut dilakukan secara terus mnerus dengan mengembangkan beberapa pendekatan, seperti melakukan perekrutan petugas lapangan (mandor[6]) yang berasal dari desa setempat, dikembangkan dengan para tokoh kunci untuk mengetahui kondisi masyarakatnya; melakukan pertemuan rutin secara informal, seperti di masjid usai sholat jumat, di pasar dan tempat lainnya; Pada tahun 2012 bersama LSM Samanta melakukan sosialisasi HTR, namun ditolak masyarakat. Alasannya, kayu yang boleh diambil adalah hasil menebang pohon yang ditanamnya, bukan pohon yang tumbuh sendiri. Masyarakat merasa terlalu lama menunggu masa tebang, apalagi sistem bagi hasil yang ditawarkan kurang memberikan keuntungan bagi masyarakat. “Namun penolakan keras atas program HTR ini adalah karena ada anggapan cukup kuat di masyarakat bahwa jika mereka ikut program kehutanan, maka tanah akan dihutankan kembali dan masyarakat tidak bisa mengolahnya,“ papar Suryadinata.

Kendati ada penolakan untuk program HTR, KPHL Rinjani Barat tetap membangun hubungan dengan masyarakat desa Rempek dengan melakukan ujicoba pengkayaan di kawasan  hutan lindung seluas 100 ha pada tahun 2012. KPHL Rinjani Barat mengajak masyarakat untuk terlibat dengan mengembangkan berbagai jenis tanaman MPTS (karet, dukuh, duren, lengkeng, rambutan dan manggis) serta tanaman di bawah tegakan (salak pondoh dan porang). Ujicoba kegiatan kehutanan tersebut ternyata dapat diterima masyarakat Desa Rempek dibuktikan dengan meningkatnya partisipasi masyarakat didalamnya.

Pada tahun 2013, diterbitkan keputusan menteri kehutanan nomor 39/Menhut-II/2013 tentang Kemitraan Kehutanan dan keputusan menteri kehutanan nomor 47/Menhut-II/2013 tentang Pedoman, Kriteria dan Standar Pemanfaatan Hutan di Wilayah Tertentu pada KPHL dan KPHP. KPHL Rinjani Barat aktif melakukan sosialiasasi kedua peraturan tersebut. Rupanya masyarakat menyambut antusias peraturan baru tersebut. “Setelah mempelajari aturan baru tersebut, kami melihat program ini cukup bagus, ada kerjasama, ada proses bagi hasil dan kesepakatan, serta  prosesnya tidak berbelit-belit. Model seperti ini yang ditunggu-tunggu masyarakat. Kami yakin program seperti ini membuat masyarakat diperhatikan, artinya kedaulatan negara RI dirasakan oleh masyarakat,“ papar Suryadinata berapi-api.

Difasilitasi oleh KPHL Rinjani Barat, masyarakat Rempek lalu membentuk tim yang bertugas untuk mensosialisasikan peraturan baru tersebut kepada para petani penggarap lahan. “Uniknya, setiap tim berkumpul selalu berjumlah 9, sejak itulah kami menamakan diri Tim 9, atau kadang-kadang disebut WaliSanga,” lanjut Suryadinata. Tim 9 bersama KPH lalu secara intensif melakukan sosialisasi di masjid-masjid, terutama sesudah sholat Jumat, maupun di pasar maupun warung kopi.

Berbarengan dengan sosialiasi oleh Tim 9, ada kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitan dan Pengembagan (Puslitbang) Kementerian Kehutanan Jakarta untuk pemetaan konflik di desa Rempek, pada tahun 2013. Tim Peneliti Puslitbang bersama Tim 9, kemudian menyebarkan kuesioner ke berbagai pihak di tingkat dusun, baik yang mendukung maupun yang menolak program kehutanan. Dari kuesioner tersebut terungkap bahwa masyarakat sebagian besar bisa bersepakat untuk menggarap lahan di atas gegumuk secara kemitraan, sedangkan yang di bawah gegumuk akan dibicarakan belakangan. Mengetahui hasil ini, Tim 9 dengan difasilitasi oleh Tim Peneliti Litbang Kehutanan, lalu mengundang para tokoh dusun dan desa pada 18 Oktober 2013. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa masyarakat bersedia untuk bermitra dengan KPHL Rinjani Barat untuk lahan di atas gegumuk, tetapi untuk lahan di bawah gegumuk masyarakat tidak setuju dan masih tetap pada pendirian mereka untuk mendapatkan sertifikat tanah seperti yang sudah diberikan kepada 100ha pada tahun 1984.

Tim 9 pun menerima kesepakatan tersebut dan meneruskannya kepada KPHL Rinjani Barat untuk merancang bentuk kemitraannya. Tim 9 menerima dengan pertimbangan untuk saat ini yang terpenting ada yang dapat disepakati dan untuk membangun saling percaya dengan masyarakat Rempek. Kasdi menjelaskan, “Kalau kami ngotot di kawasan ini, akan banyak pertentangan dari masyarakat. Sehingga kami berfikir, daripada program tidak jalan, lebih baik kami bersepakat dengan masyarakat, yaitu di atas gegumuk 1869ha. Kalau nanti lahan tersebut benar-benar bisa dikelola, dan masyaakat bisa melihat hasilnya, masyarakat pasti akan lupa dengan konflik dan mau meninggalkan lahan di produksi terbatas.

Tim 9 kemudian melakukan pendataan warga yang mengelola lahan di atas gegumuk. Hasilnya, terdapat 1032 KK yang mengelola luasan 1869 ha dan berasal tidak hanya dari desa Rempek, tetapi desa-desa di sekitarnya, seperti Tenggeng, Sambit Bangkol. Saat awal sosialisasi kemitraan di tahun 2013, hanya terdapat 18 KK yang bersedia untuk bermitra dengan KPHL Rinjani Barat dan mempersatukan mereka dalam kelompok tani penggarap lahan. Pada tahun 2014, jumlah yang berminat bertambah menjadi 23 KK dan pada tahun 2015 telah 288 KK. Dari 288 KK tersebut, telah terpetakan 50 ha lahan dan teridentifikasi jenis tanamannya.

Kerja cepat dan kompak Tim 9 bukannya tanpa resiko. “Kami sering diteror,” ungkap pak Rinadin, ketua divisi pemerintahan Tim 9, yang juga Kepala Desa Rempek. “Mulai dari ancaman fisik, rumah yang mau diratakan dengan tanah atau dibakar. Tetapi yang paling meresahkan adalah penyebaran isu kepada warga yang telah bermitra: bahwa lahan yang telah ditanami karet atau kayu, setelah jadi hutan, masyarakat nanti akan diusir kembali. Masyarakat dengan pengetahuan terbatas, menjadi goyah ketika mendapat teror seperti itu,” lanjut pak Rinadin. Teror ditebarkan oleh para pelaku pembalakan liar yang merasa terganggu dengan kehadiran Tim 9, maupun oleh petani penggarap lahan yang belum mau bermitra.

Teror dan ancaman tak membuat gentar Tim 9, bahkan untuk memperkuat unit usaha kelompok tani penggarap lahan, mereka kemudian mendorong dibentuknya koperasi serba usaha (KSU) yang diberi nama KOMPAK SEJAHTERA. Koperasi ini diketuai oleh salah satu anggota dari Tim 9 yaitu Suryadinata. Melalui koperasi inilah kemudian pada pada tanggal 25 Agustus 2014 secara resmi dilakukan penandatanganan kesepakatan kemitraan kehutanan antara KPHL Rinjani Barat dengan koperasi Kompak Sejahtera. Penandatanganan naskah kesepakatan ini disaksikan oleh Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan saat itu yang sedang melakukan kunjungan kerja di Desa Sesaot kec. Narmada Kabupaten Lombok Barat. Penandatanganan ini merupakan bentuk kemitraan  antara masyarakat dengan KPH yang pertama kali di Indonesia setelah dikeluarkannya Permenhut No.39/2013. Dengan kerjasama kemitraan ini maka, anggota koperasi yang telah terdaftar sebagai penggarap lahan hutan menjadi mitra KPHL Rinjani Barat. Masyarakat diperbolehkan mengambil hasil hutan bukan kayu (HHBK) maupun hasil hutan kayu (HHK) sesuai dengan peruntukan pemanfaatannya dengan sistem bagi hasil dengan KPH. Adapun kesepakatan besaran pembagian hasilnya adalah sebagai berikut:

Jenis Hasil Hutan Masyarakat (%) KPH

(%)

Total
Anggota Pemdes Koperasi
Hasil hutan bukan kayu (HHBK) 75 5 10 10 100
Hasil hutan kayu (HHK) 60 5 10 25 100

Nantinya koperasi inilah yang berperan untuk memungut bagi hasil dari anggota kelompoknya sebelum diberikan kepada KPH dan Pemdes. Sistem bagi hasil ini akan berlaku ketika surat izin menggarap (SIM) dikeluarkan oleh KPHL Rinjani Barat bagi anggota kelompok tani hutan. Direncanakan SIM tersebut akan diberikan pada bulan Juli 2015, sebelum musim panen kopi.

 

Teguh Gatot Yuwono, selaku Kepala Seksi Pengolahan dan Pemasaran KPHL Rinjani Barat menuturkan, sesuai kesepakatan, masyarakat juga harus bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian hutan. Oleh karena itu, masyarakat akan diarahkan menanam pohon jenis raju mas, sengon, kalinguru serta karet — yang bisa dimanfaatkan getahnya. Masyarakat juga sepakat untuk secara bertahap keluar dari hutan yang mereka rambah. “Nantinya, setiap kepala keluarga yang terlibat dalam kemitraan akan mendapat semacam kartu izin untuk mengelola hutan. Izin tersebut tidak bisa dipindahtangankan atau diperjualbelikan,” kata Teguh yang juga Kepala Resort Santong dan Senaru.

 

Dengan adanya kemitraan, KPHL Rinjani Barat setiap tahunnya melibatkan masyarakat dalam program rebosiasi maupun rehabilitasi hutan. Mulai dari kegiatan pengukuran dan pemetaan, pembuatan bibit, persemaian, penanaman sampai pemeliharaan masyarakat berperan aktif melaksanakannya. Selain itu pendampingan pembinaan juga terus dilakukan KPHL Rinajni Barat bekerjasama dengan LSM Samanta untuk menjamin keberlanjutan program.

 

Selain itu, dengan kemitraan, masyarakat kemudian membentuk Satuan tugas perlindungan dan pengamanan hutan sebagai wujud kepedulian masyarakat terhadap keamanan hutan. KPHL Rinjani Barat pun lebih tegas dalam penegakan hukum dalam tindak pidana kehutanan yang terjadi di kawasan wilayah kerjanya.

 

Melalui strategi kemitraan kehutanan yang diterapkan KPHL Rinjani Barat seperti diuraikan di atas menjadi resolusi konflik tenurial yang telah terjadi bertahun-tahun. Hal ini dibuktikan dengan menurunnya tuntutan masyarakat untuk sertifikat sisa hutan dan bahkan kawasan hutan yang telah disertifikatkan sekarang masuk menjadi peserta program kemitraan kehutanan. Partisipasi masyarakat Desa Rempek dalam kegiatan-kegiatan kehutanan pun terus meningkat mencapai 80%. Sisanya yang masih belum menerima merupakan pengusaha-pengusaha kayu yang menurutnya program kemitraan kehutanan ini akan merugikannya.

Sehingga sampai memasuki tahun 2015 ini dapat dibilang bahwa terjadi penurunan konflik di Desa Rempek sampai termasuk pada tingkatan eskalasi sedang (kuning). KPHL Rinjani Barat berkerjasama dengan LSM Samanta terus melakukan pendampingan terhadap masyarakat agar konflik-konflik tenurial yang terjadi dapat terus direalisasikan.  Menurut Madani Mukarom, Kepala Balai KPHL Rinjani Barat, menegaskan bahwa dengan pola kemitraan, masyarakat bisa memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu jika kemitraan dijalin pada areal hutan produksi. Sementara jika kemitraan dilaksanakan pada areal hutan lindung, masyarakat hanya diperkenankan memanfaatkan hasil hutan non kayu seperti madu, berbagai jenis buah, getah pohon atau jasa lingkungan. “Kemitraan antara masyarakat dan KPH bukan saja menyelesaikan persoalan perambahan, tapi juga menjadi solusi bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Masyarakat bisa memanfaatkan berbagai macam hasil hutan dengan tetap menjunjung prinsip pengelolaan hutan lestari,” lanjut Dani yang juga Ketua Asosiasi KPH se-Indonesia, menutup wawancara kami.

[1] Pada tanggal 12 November 1954 Dewan Pemerintah Daerah Lombok dengan Surat Keputusan Nomor  433/AGR-I/6/497 menyerahkan tanah milik pemerintah Daerah (Tanah GG) kepada Jawatan  Kehutanan yang terletak di Resort Kedistrikan Bajan (Kawasan Monggal-Rempek) yang telah diukur defenitif pada tahun 1957 dengan luas 6.250 Ha. Penyerahan ini dilakukan oleh pemerintah daerah, karena adanya kekhawatiran terhadap sikap masyarakat desa yang cenderung menelantarkan, bahkan menjual sawah dan ladangnya dan lebih memilih berladang di tanah GG‖tersebut.

[2] Dengan kewajiban petani kopi untuk menyerahkan 50% hasil panen kopinya ke kas daerah

[3] Tepatnya di kawasan yang dahulu disebut tanah GG.

[4] PT. Angkawijaya Raya Timber memperoleh ijin melakukan pengusahaan hutan di kawasan Rempek Monggal Sebagai bagian dari 22,000 hektar area konsesi di Pulau Lombok dan 38,500 hektar di Pulau Sumbawa.

[5] Ngoma atau mengoma adalah praktek ladang berpindah sambil menanam padi gogo dan bibit kopi di hutan. Mengoma dilakukan dengan mengawi (pemangkasan pohon besar yang ada di sekitar areal ladang), menjulat (membakar ranting bekas tebangan dan semak belukar), menggonggon (mengumpulkan yang tersisa saat menjulat), menambah (menggemburkan tanah ladang), dan mentajuk (menanam bibit padi, jagung, maupun kacang-kacangan)

[6] Mandor-mandor bertanggung jawab terhadap pemangkuan hutan yang berbatasan dengan desanya. Selain itu, dalam rangka membangun kemitraan, setiap mandor tersebut memiliki tugas utama untuk melakukan pendekatan pada masyarakat minimal 1 orang/hari.

 

Depok, 15 Agustus 2015_DSC1380

Kemitraan Konservasi: Pengalaman dari Taman Hutan Raya (TAHURA) Nipa-Nipa, Sulawesi Tenggara

Tahura (Taman Hutan Raya) Nipa-Nipa adalah kawasan pelestarian Alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan satwa, baik jenis asli maupun bukan asli. Kawasan ini juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya dan pariwisata.  Kawasan Tahura Nipa-nipa ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomer: 103 /Kpts-II/1999 pada tanggal 1 Maret 1999, yang sebelumnya bernama “Tahura Murhum”. Secara administratif, Tahura Nipa-nipa (7.877,5 ha) terletak di dua wilayah pemerintahan kabupaten, yaitu kabupaten Konawe dan Kota Kendari. Di Bagian Utara seluas(5.574,9 ha) merupakan wilayah Kabupaten Konawe dan bagian Selatan merupakan wilayah Kota Kendari (2.302,6 ha).

Pembentukan Tahura Nipa-Nipa telah melalui proses panjang yang diwarnai sengketa antara masyarakat yang tinggal di sekitar pegunungan Nipa-Nipa dengan pemerintah yang berlangsung sejak 1974. Berbagai upaya untuk menyelesaikan konflik dibuat atas prakarsa masyarakat dan pemerintah, namun selalu gagal, dimana Pemerintah ingin masyarakat meninggalkan hutan, sementara masyarakat ingin membangun pertanian di areal tersebut. Pada 2001-2007 melalui pendampingan LEPMIL, teridentifikasilah 17 Kelompok Tani Pelestari Hutan (KTPH) dengan anggota sekitar 1030 keluarga dan mengelola lahan seluas 524,99 Ha di kawasan blok khusus Tahura dan dikeluarkan Perda No.5/2007 tentang pengelolaan Tahura Nipa-Nipa.

Kendati Perda No.5/2007 telah mengatur mekanisme kolaborasi, namun sejak ditetapkan belum ada satu pun kesepakatan kolaborasi antara KTPH dengan UPTD yang memberikan izin pengelolaan. Beberapa kendala pada saat itu diantaranya belum adanya aturan yang memberi peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkan kawasan konservasi. Perda juga tidak mengatur cakupan kegiatan yang dapat dikolaborasikan. Selain itu Pihak UPTD Tahura Nipa-Nipa, masih belum menemukan strategi yang tepat mengakomodir KTPH dalam Kawasan Tahura Nipa-Nipa sebagai hutan konservasi;

Meski demikian, beraneka praktek-praktek pengelolaan sudah berjalan, seperti pengelolaan kebun oleh kelompok tani pelestari hutan (KTPH) yang ditanami tanaman produktif dan bernilai ekonomi (seperti cengkeh, mete, maupun buah-buahan) yang menjadi sumber penghasilan alternatif keluarga. Juga ada wisata air jatuh, pengelolaan air minum, hingga penggunaan kawasan untuk lintasan sepeda gunung. Selain itu, dalam beberapa waktu terakhir, Kementerian Kehutanan menerbitkan peraturan baru terkait pengelolaan Jasa Lingkungan Wisata Alam, Jasa Lingkungan Air maupun pembentukan Kesatuan Pemangkuan Hutan Konservasi (KPHK) yang belum terakomodasi di dalam Perda No.5/2007 tersebut.

Hingga pada 2012, dimulailah proses pendampingan multipihak yang dilakukan oleh AGFOR dengan bersandar pada filosofi “nasi bambu,” makanan khas Sulawesi Tenggara, dimana nasi yang telah diberi bumbu, dimasak di dalam wadah bambu. Bambu dibakar dari berbagai arah agar matang sempurna. Filosofi ini menjadikan proses pendampingan dilakukan secara multipihak, bukan hanya satu pihak. Sehingga ketika dipertemukan, para pihak telah siap untuk bersepakat.

Jalan panjang dilakukan mulai dari melakukan kajian baseline, mengidentifikasi para pihak, hingga serangkaian program pengembangan kapasitas, baik untuk kelompok tani pelestari hutan (KTPH) maupun team building bagi staf UPTD Balai Pengelola (BP) Tahura Nipa-Nipa. Komunitas Teras bersama CIFOR melakukan kajian cepat kapasitas kelembagaan terhadap 17 KTPH yang ada. Hasilnya, hanya 4 KTPH yang masih jelas bentuk kelembagaan kelompoknya, ada pengurus dan anggota serta memiliki program dan kegiatan. Empat KTPH itu adalah Tumbuh Subur, Subur Makmur, Medudulu dan Pokadulu Dua. Selain itu, ICRAF turut melakukan kajian kerentanan dan potensi kehati serta pengembangan kebun bibit masyarakat. Intinya, keempat KTPH ini difasilitasi untuk mengembangkan model pengelolaan lahan dan kawasan yang berdasarkan prinsip tata kelola yang mendukung pada pelestarian alam dan kesejahteraan. Untuk memperkuat pemahaman pengelolaan

Setelah kedua belah pihak siap, ICRAF, CIFOR dan Komunitas Teras memulai proses multipihak dengan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Pengelolaan Bersama Tahura Nipa-Nipa pada bulan Mei 2015. Pokja yang terdiri dari Staf UPTD BP Tahura Nipa-Nipa, perwakilan 4 KTPH dan Komunitas Teras, kemudian merumuskan visi dan misi Pengelolaan Tahura Nipa-Nipa. Menurut Rustam Br, Kasie Program UPTD Tahura Nipa-Nipa, keberadaan Pokja mampu merubah prasangka jelek antara UPTD BP Tahura Nipa-Nipa terhadap keberadaan KTPH, maupun sebaliknya, menjadi prasangka yang baik dan hal tersebut menjadi landasan awal untuk membangun kolaborasi.  Selanjutnya, Pokja dengan melibatkan para anggota dari 4 KTPH melakukan pemetaan potensi kehati, penyusunan blok pemanfaatan lahan untuk KTPH, hingga menyepakati rencana kelola dan jenis tanaman yang boleh ditanam di lahan kelola KTPH, serta lokalatih penanganan konflik sumberdaya alam hingga studi banding ke Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Selain pengembangan kapasitas, penguatan kebijakan juga dilakukan. Diawali dengan lokakarya multipihak Refleksi Pengelolaan Tahura Nipa-Nipa pada Juni 2014 yang merekomendasikan pentingnya kolaborasi dalam pengelolaan Tahura Nipa-Nipa dan usulan program, kegiatan maupun strategi untuk pelembagaan kolaborasi tersebut. Langkah selanjutnya merevisi Perda Prop. No.5/2007, melalui kajian dan konsultasi public kemudian lahirlah Perda No.6/2014 yang memberikan ruang implementasi kolaborasi pengelolaan Tahura Nipa-Nipa melalui mekanisme kemitraan untuk pemanfaatan lahan hutan, pada September 2014. Agar menjadi lebih operasional, dilanjutkan dengan menyusun Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (RPJP) Tahura Nipa-Nipa, Rencana Rehabilitasi dan Rencana Blok (pada Oktober 2014). Sesudahnya mulailah dirancang proses penyusunan Peraturan Gubernur (Pergub) untuk penerapan kolaborasi, melalui serangkaian diskusi dan konsultasi public. Akhirnya pada bulan Juni 2016 disahkanlah Pergub  No. 18/2016 Kolaborasi pengelolaan Tahura Nipa-Nipa.

Menandai disahkannya Pergub tersebut, pada 22 Juni 2016 dilakukan penandatanganan naskah kesepahaman kerjasama (MoU) Pengelolaan Kawasan Tahura Nipa-Nipa antara UPTD. BP Tahura Nipa-Nipa dengan KTPH Subur Makmur. Langkah membangun kolaborasi ke depan khususnya KTPH yang berada dalam blok khusus yaitu menerapkan pola wanatani yang berorientasi pada konservasi lahan dan peningkatan produksi hasil tanaman.  Pengelolaan lahan diarahkan pada hal-hal sebagai berikut:

  1. Lebih mengedepankan pengolahan lahan yang sifatnya konservasi lahan;
  2. Jenis tanaman MPTS, lebih mengutamakan tanaman yang memiliki nilai pohon tidak komersial;
  3. Pengelolaan tanaman, diharapkan memiliki ciri produksi khas Tahura Nipa-Nipa;
  4. Tanaman yang dikembangkan memiliki cakupan kanopi yang menutup lahan terbuka, serta bersifat organik.
  5. Mengembangkan model/pola pertanaman sebagai kebun campur yang mendukung upaya konservasi lahan.
  6. Lebih mengutamakan produksi Hasil Hutan Non Kayu.

Menurut Ir. Wiratno, MSc, selaku Direktur PKPS KLHK, dalam sambutannya pada penandatangan MoU tersebut, menyatakan, “Ini adalah contoh bagaimana perhutanan sosial juga dapat diterapkan di kawasan konservasi, bukan saja untuk menyelesaikan konflik, tetapi juga untuk kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan dan pelestarian hutan itu sendiri.”

 

Kendari, 25 Juni 2016

 

KROMOSOM

Denys Lombard, seorang sejarahwan Perancis, menyebut “silang budaya,” pembauran dari aneka budaya barat dan timur, menghasilkan nusantara. Temuan prasejarah, seperti lukisan purba di dinding gua-gua, artefak-artefak arkeologis, hingga keanekaragaman bahasa, memperlihatkan kebinekaan sudah berlangsung lama.
Bertahun kemudian, lembaga riset Eijkman melakukan sebuah pencarian saintifik menelusuri perpindahan dan persebaran manusia, melalui jejak dari bagian tubuh yg paling renik : KROMOSOM. Sebermula dari Afrika (out of Africa), mitokondria (yg hanya diturunkan oleh kaum hawa) merekam kelana manusia prasejarah menyebar melintas benua menyusuri khatulistiwa, mencari wilayah2 baru yang subur dan memberi ruang hidup.
Salah satunya nusantara, yang kemudian menjadi ruang tunggu sebelum beranjak ke utara maupun selatan. Migrasi yang berlangsung dalam beberapa gelombang penjelajahan. Alih-alih menyebar dan terpisah, para nenekmoyang itu justru saling kawin mawin membentuk 500an suku bangsa dan menuturkan lebih dari 700 bahasa seperti saat ini.
Mula-mula adalah penutur Papua mengisi pojok timur nusantara dan lalu penutur Austronesia dan Austroasia yang datang kemudian. Kawin mawin diantara penutur- penutur itu menghasilkan gradasi keragaman genetik dari barat-tengah-timur nusantara. Sehingga masyarakat Indonesia saat ini sebenarnya disatukan oleh pencampuran motif genetik Austronesia, Austroasiatik, dan Papua dengan komposisi bervariasi. Belakangan, sebagian populasi mendapat tambahan gen India, Tiongkok, Arab, dan Eropa.
Inilah yang membentuk genetika manusia Indonesia. Indonesia saat ini bukan saja “Silang Budaya” tapi juga “Silang Genetika.” Inilah takdir kita: sudah beragam sejak dari genetika. Karenanya, menolak keragaman adalah melawan takdir!
Depok, 13 Februari 2017

CINTA

Dari mata turun ke hati, demikian sebuah pepatah lama. Sebermula dari tatapan yang dipengaruhi hormon testosteron (pada pria) dan estrogen (pada perempuan), mengaktifkan hipotalamus, penghubung saraf dengan endokrin, dan amigdala, bagian limbik yang mengelola memori dan reaksi emosional. Tatapan penuh daya, menyalakan sinyal2 cinta di otak, memindai sang pasangan.
Mulailah badai dopamin, norepinefrin, dan serotonin, mengguncang emosi, jantung berdegup keras saat mengenangnya, motivasi untuk terus bersamanya, hingga reaksi fisik tak bisa tidur dan sulit makan saat jauh darinya. Gembira, sedih, bahagia, kecewa hadir bersamaan mengharubiru sang rasa.
Ketika cinta bersambut, oksitosin memperekat ikatan emosi keduanya dan vasopressin mengkoordinasikan penghargaan sesama. Tak jarang, cinta membuat mabuk dan jatuh dalam kubang asmara, melupakan perbedaan antar dua manusia, seperti Ratu Wilhemina, Sang Ratu Belanda, ketika mendamba Raja Siak, Sultan Syarif Kasim II, jajahannya. Atau cinta terlarang antara Rahwana dan Sinta, hingga sang Rahwana meratap, “Tuhan, jika cinta ini terlarang, mengapa Kau bangun kemegahannya dalam hatiku,” (Sujiwotedjo).
Tak jarang cinta pun berbalik menjadi benci, membangkitkan energi ketakberdayaan. Ketika cinta dan benci bergerak berlebihan, sungguh membahayakan bagi sang diri. Cinta tak lagi menjadi cahaya, tapi api yang membakar rumah nalar. Benci menjadikannya gelap gulita, lubang hitam yang menyerap logika. Ia tak hanya mematikan nalar, bahkan memantik konflik. #RenunganToilet #Cinta
Depok, 19 Februari 2017
Gambar mungkin berisi: 4 orang, orang tersenyum

BANTUAN

Bantuan jang diberikan atas sjarat politik tidak dapat disebut bantuan perkembangan, sebab sifatnja mengikat negeri jang diberi bantuan kepada suatu politik jang tertentu. Bantuan semacam ini dipandang … sebagai langkah pertama untuk melaksanakan neo-kolonialisme, kolonialisme ekonomi …
Bantuan jang diberikan begitu sadja kepada suatu negeri jang kurang madju semata-mata untuk melepaskan negeri itu dari berbagai kesulitan keuangan, bukanlah pula bantuan pembangunan. ini bantuan jang bersifat filantropi, jang tidak mendidik untuk berusaha dan berhemat, … malahan mungkin mempengaruhi Pemerintah negeri jang menerima bantuan djadi pemboros dan tidak bertanggung djawab.
Djuga bantuan jang diberikan dalam djangka pendek atau sedang dengan bunga jang terlalu tinggi bukanlah bantuan pembangunan jang sebenar-benarnja … bebannya berat dan dalam waktu jang singkat sudah harus dipikirkan tjara membajarnja jang mungkin sekali mempengaruhi djalannja pembangunan.
Bantuan jang benar-benar bernama bantuan perkembangan ialah bantuan kredit jang mendorong perkembangan nasional supaja berdjalan dengan lantjar. Pada dasarnja pembangunan ekonomi nasional hendaklah usaha sendiri … berdasar kepada tjita-tjita self-help dan self-reliance … bantuan jang berdasarkan rentjana pembangunan negeri itu sendiri, bukan rentjana jang disorongkan dari luar. (dicuplik dan diedit seperlunya dari “Masalah Bantuan Perkembangan Ekonomi bagi Indonesia,” Muhammad Hatta, September 1967.
Sejatinya ini naskah pidato yang hendak disampaikan Hatta saat Konferensi tg bantuan asing bagi negara kurang maju yang dilaksanakan di Austria, 1962. Namun Hatta tak jadi menghadiri. Tak disebutkan alasan ketakhadirannya dlm forum tsb) #khasanah #bukulawas
Depok, 26 Februari 2017
Keterangan foto tidak tersedia.